Empat Puluh Delapan

89 17 0
                                    

"Saya baik, Ayah," jawab Karin kaku. Sembilan belas tahun lamanya, tak ada seorang pun yang ia panggil "abeoji" apalagi "ayah", sekarang ia harus melakukannya untuk memanggil laki-laki di depannya. Hal ini bukan hal yang mudah bagi Karin. Rasanya aneh.

"Bagaimana kabar Suyeon, Karin?" tanya ayah Karin lagi.

"Eomma juga baik-baik saja. Dia belum menikah lagi," jawab Karin. Suyeon adalah nama ibu Karin, Baek Suyeon. Putera Baginda terkesiap mendengar kabar bahwa ibu Karin belum menikah lagi.

"Salahku, tidak secara resmi menceraikannya. Maafkan aku, Karin," kata Putera Baginda.

"Ayah menceraikan Eomma?" tanya Karin.

"Tidak pernah. Aku tidak pernah menceraikan ibumu. Aku hanya menyuruhnya pulang ke Korea, agar ia tak sebatang kara di Jakarta," jelas Putera Baginda sambil menggelengkan kepalanya dengan keras. Tanda bahwa ia sama sekali tidak setuju dengan ucapan Karin.

"Apa yang terjadi, Ayah?" tanya Karin.

"Sudah sembilan belas tahun, ya," kata Putera Baginda bergumam. "Kalian pasti lelah, beristirahatlah. Kita lanjutkan obrolan kita nanti setelah makan siang," kata Putera Baginda.

"Tidak bisakah Ayah bercerita sekarang? Saya sudah menunggu sembilan belas tahun," kata Karin.

Putera Baginda terdiam, kemudian ia menegakkan punggungnya seakan menyiapkan dirinya.

"Baiklah, tapi tolong, jangan beri tanggapan apapun di tengah-tengah cerita. Biarkah aku bercerita secara tuntas. Setelah itu, silakan jika kamu ingin bertanya," kata Putera Baginda.

"Oke," jawab Karin setuju.

"Sembilan belas tahun yang lalu, aku belum jadi yuwaraja, putera mahkota. Aku hanyalah dohitra, cucu Raja. Ayahkulah yang jadi yuwaraja. Aku punya seorang abang, yang kupikir nantinya dialah yang akan jadi yuwaraja berikutnya. Karena itu aku merantau ke Jakarta untuk bersekolah dan bekerja. Di sana aku bertemu ibumu, dan kami menikah," cerita Putera Baginda.

"Waktu itu, kakekku meninggal dunia. Ayahku, kakekmu, yang saat itu adalah yuwaraja, diangkat menjadi raja berikutnya. Tapi beliau tidak bisa dilantik tanpa yuwaraja pendamping. Di kerajaan Arjadwipa, seorang raja harus dilantik bersamaan dengan yuwaraja-nya. Yuwaraja nanti akan menjadi semacam perdana menteri. Biasanya yuwaraja adalah anak laki-laki pertama.

"Aku anak kedua. Karena itu, aku tak berpikir akan kembali ke Arjadwipa ini. Aku menikahi ibumu juga tanpa beban. Tapi ketika kakekku meninggal dan Baginda Raja akan dilantik menjadi raja berikutnya, mereka mencariku untuk menjadi yuwaraja," jelas Putera Baginda.

"Tapi kan, Ayah anak kedua," kata Karin. Selintas ia mengingat potongan-potongan mimpinya. Mungkin inilah awal mula perpisahan mereka.

"Abangku menghilang, sedang tanggal pelantikan ayahku semakin dekat," kata Putera Baginda, "awalnya aku pulang untuk menghadiri pelantikan ayahku. Tak kusangka, aku harus menggantikan abangku menjadi yuwaraja."

"Lalu kenapa Ayah tidak mengajak kami ke mari?" tanya Karin protes.

"Kamu pikir ibumu sanggup tinggal di tempat seperti ini? Ibumu yang orang Korea yang terbiasa hidup bebas, tak akan sanggup hidup tertekan di pulau terpencil ini, Karin," jelas Putera Baginda. "Karena itu, kupikir demi kebahagiaannya, aku mengiriminya sejumlah dana untuknya pulang ke Korea, dan memulai hidup bersamamu," lanjut Putera Baginda.

Karin diam dan mencerna cerita ayahnya. Apakah itu benar? Apakah hanya itu alasan perpisahan mereka? Benarkan semuanya demi kebahagiaan Eomma? Batin Karin berkecamuk. Sekarang Karin tahu dari mana Eomma memiliki dana yang cukup untuk memulai bisnis kursusnya dan membesarkan Karin selama ini.

"Jujur, aku tak terlalu memikirkanmu, Karin. Aku percaya, di mana pun kamu berada, selama itu bersama keluargamu, kamu pasti akan bahagia. Tapi tidak dengan ibumu. Jika dia kubawa ke sini, dia akan terpisah selamanya dengan orang tuanya, dan harus benar-benar berbaur dengan kehidupan di sini. Tentu saja, diawali dengan tatapan aneh karena penampilan dan budayanya berbeda dengan penduduk lokal. Aku pikir Suyeon tak akan sanggup melaluinya. Sebagai yuwaraja, aku pasti tak akan bisa menemaninya sepanjang waktu. Pulau ini memiliki banyak hal yang harus dilindungi dari para pemburu harta," kata Putera Baginda dengan pandangan kosong.

Karin menatap wajah ayahnya. Kerutan di wajahnyatampak sangat jelas. Seharusnya, ayah Karin berusia lima puluh tahunan sekarang,tapi wajahnya seperti sudah masuk kepala enam. Karin ingin sekali memelukayahnya. Tapi dia bingung bagaimana melakukannya. Canggung, demikianlah yangKarin rasakan. Setelah berpikir beberapa waktu, Karin bangkit dan merangkulayahnya dengan erat. Ia sangat merindukan ayahnya.


**Bersambung ke Empat Puluh Sembilan**


Panduan membaca bahasa Korea pada naskah:

huruf vokal di Korea seperti pengucapannya.

Ae dibaca E seperti pada "ekor"

Eo dibaca O seperti pada "ekor"

Eu dibaca E seperti pada "elang"

O dibaca O seperi pada "o, p, q, r, s"

E dibaca E seperti pada "a, b, c, d, e"

H setelah huruf N seringtidak dibaca/lesap

Rahasia Baek KarinWhere stories live. Discover now