Lima Puluh Satu

100 15 0
                                    

BAB XI

"Karin, kita harus bertemu Baginda Raja. Kamu harus mendekati kakekmu, dan mencari tahu apakah beliau tahu keberadaan putra-putranya," usul Arjuna.

"Kamu benar, Juna-ssi. Aku akan meminta Ayah mengenalkanku pada Harabeoji, eh, bagaimana mereka memanggil kakek mereka di sini?" tanya Karin. Arjuna mengangkat bahu tanda tak tahu.

"Dyah Ayu, Abang, mari makan siang bersama," Dhayita memanggil Karin dan Arjuna untuk makan siang. Mereka pun keluar dari kamar dan menuju ruang makan. Di sana Putera Baginda telah menunggu mereka berdua di kursi kepala meja.

"Putera Baginda sengaja mengosongkan jadwalnya siang ini untuk kalian. Biasanya, Putera Baginda tidak pernah makan siang di rumah," kata Dhayita.

"Tidak tiap hari anak Ayah datang dan makan dengan Ayah. Sudah sembilan belas tahun Ayah tidak makan bersama anak Ayah," kata Putera Baginda. Karin tersenyum, ayahnya tidak boleh tahu kasus ini. Karin takut ayahnya akan menyesali diri sendiri nantinya.

"Terima kasih, Umma Dhayita," kata Karin, kemudian ia duduk di samping ayahnya. Arjuna membuka kursi di sebelah Karin.

"Ayah, saya ingin sekali bertemu Harabeoji, eh, kakek. Bagaimana saya harus memanggil beliau?" pinta Karin.

"Panggil saja beliau Baginda Raja, atau Baginda Atok, terserah kamu. Anak Arjadwipa memanggil kakek mereka dengan 'Atok'. Ayah memanggil kakek Ayah dengan 'Baginda Atok'," kata Putera Baginda.

"Saya ingin bertemu Baginda Atok, boleh kah?" pinta Karin lagi.

"Boleh, setelah makan siang, ikut Ayah ke istana," ajak Putera Baginda. Karin melirik ke arah Dhayita. Seperti yang telah diduga, ada raut cemas di wajahnya. Karin berusaha menenangkan diri agar tak terprovokasi. Sepertinya, kisah itu benar adanya.

"Ayah, abang Ayah, siapa namanya?" tanya Karin.

"Paman Darmawan. Atau mungkin seharusnya kamu memanggilnya 'Derta Pama"," kata Putera Baginda.

"Derta Paman... berarti istrinya dipanggil 'Dyah Bibi'?" kata Karin.

"Kamu cepat sekali belajar, anak Ayah memang cerdas," puji Putera Baginda.

"Lulusan Hanguk University dan Seoul National University, Ayah," kata Karin membanggakan diri, sekaligus berusaha membuat ciut nyali Dhayita. Karin ingin menunjukkan pada Dhayita, bahwa dia bukan orang sembarangan.

"Kamu sudah master, ya?" tanya Putera Baginda.

"Iya. Saya sudah sekolah sampai pascasarjana master. Juna-ssi masih sekolah doktoral, nanti jadi doktor. Mungkin akan lanjut jadi profesor," lanjut Karin masih memprovokasi. Arjuna tersenyum geli melihat tingkah Karin. Dia seperti anak kecil yang membanggakan mainannya.

"Ayah bangga padamu. Maafkan Ayah karena tak bisa mendampingi pertumbuhanmu," kata Putera Baginda sedih.

"Sudahlah, Ayah. Yang penting sekarang kita bisa bertemu lagi. Saya sudah bisa memahami mengapa takdir kita begini," jawab Karin tersenyum. Mereka pun menyelesaikan makan siang mereka.

"Mari, kita ke Istana Agung dan bertemu Ayahanda Raja," ajak Putera Baginda.

"Juna-ssi boleh ikut?" tanya Karin.

"Silakan, toh kalian sudah menikah, Ayahanda harus mengenal cucu menantunya juga," kata Putera Baginda. Karin segera menarik tangan Arjuna.

Istana Agung yang disebut Putera Baginda tidaklah megah. "Agung" dalam nama istana tersebut mungkin merepresentasikan penghuninya, bukan bentuk istananya. Mungkin juga melambangkan fungsinya. Yang jelas, Pendopo Keraton Yogyakarta yang Karin lihat di internet jauh lebih bagus dan lebih megah dari pada istana ini. Kalau mau dibandingkan dengan istana kerajaan Joseon zaman dulu, mungkin istana ini semacam istana musim panas sederhana saja.

Karin langsung diajak masuk ke Balai Agung, di mana Baginda Raja sedang berdiskusi bersama beberapa menterinya.

"Ayahanda, Putera Baginda hadir bersama dohitra dan pasangannya," salam Putera Baginda.

"Oh, dohitra. Aku sudah mendengar tentang kedatanganmu. Mendekatlah, cucuku!" kata Baginda Raja.

"Salam, Baginda Atok," sapa Karin.

"Hahaha, kamu cepat sekali belajar," puji Baginda Raja.

"Dia lulus magister, Ayahanda. Seoul National University," bisik Putera Baginda.

"Benarkah? Universitas terbaik di Korea itu? Pantas saja," puji Baginda Raja bangga.

"Ini suami Karin, Baginda Atok. Namanya Arjuna," kata Karin memperkenalkan Arjuna.

"Salam Baginda," sapa Arjuna.

"Arjuna sekarang masih kuliah, doktor, di Seoul National University juga," kata Karin. Mata Baginda Raja memandang Karin dan Arjuna dengan penuh kekaguman.

"Malam ini, bagaimana jika kalian menginap di sini? Aku ingin bercengkerama dengan kalian," pinta Baginda Raja.

"Baik, Baginda," kata Karin setuju. Ia kemudian menoleh pada Putera Baginda yang juga mengangguk setuju.

"Anakku, kamu juga harus menginap di Istana Agung malam ini," titah Baginda Raja.

"Baik, Ayahanda," jawab Putera Baginda. "Arji, sampaikan pada Dhayita, aku menginap di Istana Agung malam ini!" kata Putera Baginda pada seorang pengawal kerajaan.

"Baik, Putera Baginda," sahut sang pengawal. Dia pun meninggalkan Balai Agung.

Apakah ponsel tak dipakai di sini? Pikir Karin geli.


**Bersambung ke Lima Puluh Dua**


Panduan membaca bahasa Korea pada naskah:

huruf vokal di Korea seperti pengucapannya.

Ae dibaca E seperti pada "ekor"

Eo dibaca O seperti pada "ekor"

Eu dibaca E seperti pada "elang"

O dibaca O seperi pada "o, p, q, r, s"

E dibaca E seperti pada "a, b, c, d, e"

H setelah huruf N sering tidak dibaca/lesap

Rahasia Baek KarinDove le storie prendono vita. Scoprilo ora