Lima Puluh Tiga

94 14 0
                                    

Rapat terbatas Baginda Raja dan para menteri berlangsung tertutup di Balai Agung. Karin dan Arjuna disilakan istirahat di kamar tamu istana. Karin sangat cemas menunggu hasil rapat, sementara Arjuna berusaha tenang dan menenangkan Karin.

Menjelang tengah malam, seorang pengawal istana mengetuk kamar Karin.

"Dyah Ayu Karina, apa Dyah Ayu sudah beristirahat?" tanya pengawal itu pelan.

Arjuna membuka pintu kamar, "ada apakah?" tanyanya.

"Baginda Raja memanggil Dyah Ayu Karina, jika Dyah Ayu belum beristirahat," kata pengawal tersebut.

"Tunggu sebentar, kami akan bersiap," jawab Arjuna.

Karin sudah tertidur di kursi saat itu. Arjuna membangunkannya pelan, dan membantunya bersiap . Pengawal tadi memandu mereka menuju Balai Agung.

Walau hampir tengah malam, Balai Agung masih ramai. Para menteri terdengar panik dalam percakapan mereka. Ketika Karin dan Arjuna tiba di Balai Agung, para menteri terdiam. Mereka memandang Karin dan Arjuna yang berjalan memasuki Balai Agung.

"Mereka adalah dohitra, cucu dan cucu menantuku," kata Baginda Raja memperkenalkan Karin dan Arjuna. Para menteri berbisik-bisik, beberapa di antara mereka mengetahui jika Putera Baginda memiliki keluarga sebelum jadi yuwaraja.

"Karin, jelaskan yang kau dengar pada para menteri," perintah Baginda Raja.

"Baik, Baginda Atok," jawab Karin. Kemudian Karin pun menceritakan apa yang didengarnya di dekat kamar mandi siang tadi. Ia memilih kata-kata dengan hati-hati. Tujuannya agar ia tak terkesan menuduh salah satu pihak.

"Kita harus mengusut tuntas kasus ini, Baginda," kata salah satu menteri. Karin tak tahu apa jabatan menteri itu.

"Kau benar. Dan biar kuberi tahu satu hal lagi. Aku juga tertipu. Selama ini aku berpegang pada fakta bahwa Darmawan, anak pertamaku, mengundurkan diri dari posisi yuwaraja. Ternyata surat itu tidak ditulis oleh Darmawan," kata Baginda.

"Tapi, darimana Ayahanda tahu?" tanya Putera Baginda.

"Surat itu selama ini dipegang oleh Permaisuri. Jadi aku tak pernah membacanya lagi. Secara kebetulan, kemarin aku ke kamar Darmawan, dan melihat-lihat barang-barang miliknya. Salah satunya adalah buku catatan sekolahnya. Saat kubaca surat yang dipegang Permaisuri itu, di situlah aku tahu, tulisan di surat itu bukan tulisan Darmawan. Tanda tangannya memang tanda tangan Darmawan, tulisannya bukan," kata Baginda Raja.

"Baginda, ini penipuan besar. Bagaimana mungkin dia berani menipu Baginda Raja Arjadwipa?" kata menteri lainnya.

"Aku ingin minta pendapat kalian," kata Baginda Raja.

"Lebih baik besok kita adakan persidangan. Kita undang Abang Mulia Darji, Abang dari Dhayita, untuk dimintai keterangan. Kemudian, kita juga sebaiknya menanyai Dhayita. Karena beliau memiliki peran di sini," usul seorang menteri yang kelihatannya masih muda.

"Baiklah, sekarang kita bubar. Besok kita akan berkumpul lagi untuk mendengarkan keterangan dari Abang Mulia Darji. Rapat terbatas malam ini, aku bubarkan," kata Baginda Raja seraya bangkit dari kursinya.

Karin dan Arjuna merapat ke dinding Balai Agung, menyilakan Baginda Raja dan Putera Baginda lewat. Seharusnya, setelah Baginda Raja dan Putera Baginda, rombongan yang lewat adalah rombongan para menteri. Tetapi kali ini mereka diam. Para menteri bingung karena Karin dan Arjuna ada di dinding dekat pintu keluar.

"Dyah Ayu, Abang Mulia, silakan mengikuti Putera Baginda keluar dari Balai Agung," seorang menteri yang cukup senior menyilakan Karin dan Arjuna berjalan di depan mereka.

Karin langsung memahaminya. Posisinya sekarang adalah dohitra, cucu raja. Tentu saja tempatnya adalah di belakang Putera Baginda. Karin langsung mengajak Arjuna untuk berjalan di belakang ayahnya.

"Apa semua akan baik-baik saja?" tanya Karin berbisik pada Arjuna. Tidur di kursi yang sebentar itu berhasil melenyapkan kantuknya.

"Ya, semua akan baik-baik saja, aku percaya itu," jawab Arjuna.

"Karin, Arjuna, kembalilah ke kamar kalian dan beristirahatlah!" perintah Putera Baginda. Karin mengangguk dan berjalan menuju kamarnya.

***

"Paman, Kakak juga mau, donk, dibelikan es krim," kata seorang anak perempuan berusia delapan tahun kepada seorang laki-laki dewasa.

"Oke, Paman Darma akan bawa Kak Karin beli eskrim ke swalayan itu. Ajak Dek Risa juga?" kata sang paman.

"Iya, ajak Risa juga. Bunda, boleh kan Kakak Karin dan Risa ikut Paman beli es krim di swalayan?" tanya anak perempuan itu.

"Boleh, jangan beli banyak-banyak, ya!" pesan ibunya mengizinkan.

Mereka pun pergi bertiga, Karin berjalan menggandeng tangan pamannya, sementara sang paman menggendong si kecil Risa yang masih berusia satu tahun.

Di tengah perjalanan, mereka dihadang sekelompok orang yang terlihat jahat. Sang paman menyuruh Karin untuk berlari pulang sementara ia mencoba melindungi diri dan Risa di pelukannya. Karin kecil berlari sekuat tenaga untuk segera sampai ke rumah. Dengan segala ketakutannya, kaki kecilnya tak berhenti berlari hingga pintu rumahnya tertutup.

***

Karin terbangun dengan peluh mengucur. Bahkansetelah bertemu sang ayah, ia masih saja bermimpi tentang masa kecilnya. Tapisetelah ia mengingat kembali mimpi itu, kengerian tergambar di wajahnya. Karinbermimpi tentang penculikan Paman Darmawan. Ia adalah saksi hilangnya sangpaman.


**Bersambung ke Lima Puluh Empat**


Panduan membaca bahasa Korea pada naskah:

huruf vokal di Korea seperti pengucapannya.

Ae dibaca E seperti pada "ekor"

Eo dibaca O seperti pada "ekor"

Eu dibaca E seperti pada "elang"

O dibaca O seperi pada "o, p, q, r, s"

E dibaca E seperti pada "a, b, c, d, e"

H setelah huruf N sering tidak dibaca/lesap

Rahasia Baek KarinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang