Empat Puluh Sembilan

104 15 0
                                    

Putera Baginda terkejut ketika Karin merangkulnya. Kehangatan dan kasih sayang yang selama ini terlupakan, seakan kembali dalam kehidupannya. Tak lama, ia tak mampu lagi membendung air matanya. Putera Baginda menangis di perut Karin, anak kesayangannya.

"Maafkan Ayah, Karin. Karena Ayah, kamu dibesarkan dalam keluarga yang tak utuh," kata Putera Baginda menyesal.

"Ayah bisa ikut aku pulang ke Korea?" kata Karin setelah melepaskan rangkulan.

Putera Baginda menggelengkan kepalanya, "tidak bisa, Karin. Kecuali kami menemukan abangku dan mengangkat beliau menjadi yuwaraja, aku tak bisa meninggalkan Arjadwipa."

"Ayah tidak merindukan Eomma?" tanya Karin.

"Rindu. Aku sangat merindukan Suyeon. Di hatiku, hanya ada satu perempuan, Suyeon. Tapi..." Putera Baginda tak bisa meneruskan ucapannya. Pandangannya kembali nanar, seakan tak tahu apa yang harus ia lakukan. Karin melihat penceritaan ayahnya. Mengorbankan perasaan demi orang banyak, Karin tak tahu apakah ia harus mengapresiasi ayahnya, atau mencelanya karena meninggalkan Karin dan ibunya.

"Apa Ayah tidak menikah lagi?" tanya Karin. Sungguh, ia takut akan jawaban ayahnya, tapi mencoba berdamai dan memaklumi bila memang ia punya ibu tiri.

"Saat pelantikan, aku diminta menikahi perempuan lokal, karena yuwaraja tidak boleh hidup sendiri. Aku berterima kasih padanya, orang yang dinikahkan denganku waktu itu. Dia ikhlas mengurus semua kebutuhanku, tanpa aku punya waktu menemaninya," jawab Putera Baginda.

Karin merasa sedikit lemas. Benar, ia punya ibu tiri. Tapi Karin berusaha menggunakan logikanya kembali. Sepertinya ibu tirinya hanya berfungsi sebagai asisten untuk sang ayah. Jika Eomma benar-benar dibawa ke sini, posisi itu akan dipegang oleh Eomma. Entah kenapa, di sudut hatinya, Karin bersyukur Eomma tak datang ke pulau ini.

"Apa dia tahu, kalau Ayah punya anak dan istri?" tanya Karin lagi.

"Tahu. Seluruh penduduk pulau ini tahu jika aku sudah berkeluarga. Itu sebabnya mereka semua menyambutmu, Karin. Aku hanya tak dapat membawa kalian ke sini, dan tak pula bisa meninggalkan pulau ini untuk bertemu kalian," kata Putera Baginda.

Karin benar-benar bingung. Haruskah ia mengapresiasi ibu tirinya, yang masih mau menikah dengan ayahnya padahal tahu tak akan mendapatkan waktu dan cinta dari ayahnya?

"Di mana dia sekarang, Ayah? Ibu tiriku. Bagaimana aku memanggilnya?" tanya Karin.

Putera Baginda memandang wajah anaknya. Seakan bertanya "apa kamu yakin ingin bertemu dengannya?".

"Di belakang. Dia ragu apakah harus keluar menemuimu atau tetap bersembunyi. Dia takut kamu tak suka padanya," kata Putera Baginda.

"Bagaimana mungkin? Dia sudah merawat Ayah selama sembilan belas tahun ini. Aku harus berterima kasih padanya," kata Karin.

"Umma, panggil dia Umma. Begitulah anak di pulau ini memanggil orang tua mereka, Ayah dan Umma," kata Putera Baginda.

Umma dan Eomma? Karin menertawakan kebetulan ini dalam hatinya.

Putera Baginda bangkit dan masuk ke dalam rumah. Tak lama, ia keluar dengan seorang perempuan setengah baya mengikutinya. Karin berdiri. Jarak usia perempuan itu dan dirinya hanya sekitar sepuluh atau dua belas tahun, tapi wajah perempuan itu terlihat sangat tua. Kerut dan flek di wajahnya terlihat jelas. Kelihatan seperti perempuan ini lebih tua dari Eomma, walaupun kenyataannya usia Eomma jauh lebih tua dari perempuan ini.

"Umma?" sapa Karin. Perempuan itu tiba-tiba menangis, lalu memeluk Karin.

"Maafkan saya, Dyah Ayu," katanya. Karin bingung, lalu memandang ayahnya.

"Dyah Ayu adalah panggilan untuk dohitra perempuan. Jika lelaki, panggilannya adalah Derta Abang," jelas Putera Baginda.

"Maafkan saya," kata Umma lagi.

"Umma, saya yang harusnya minta maaf, karena kami tidak ada di sini dan akhirnya Umma yang harus mengurus Ayah," jawab Karin. "Terima kasih, Umma," bisik Karin.

Umma makin tersedu-sedu. Karin mengajak Umma duduk di sebelahnya.

"Aku merasa bersalah pada ibumu, Dyah Ayu. Seharusnya dia yang menjadi dhayita, istri yuwaraja. Bukan aku," kata Umma.

"Umma, terima kasih sudah menjaga Ayah. Sebenarnya, saya lega bukan Eomma, ibu saya, yang di sini dan menjadi.. apa itu.. dhayita? Saya lega Eomma tidak menjadi dhayita. Karenanya, saya berterima kasih pada Umma yang sudah mau mengambil posisi dhayita itu," kata Karin.

"Sebenarnya, tak ada satupun perempuan di Arjadwipa yang tak ingin jadi dhayita, Dyah Ayu. Dhayita adalah posisi tertinggi di bawah permaisuri. Siapapun yang jadi dhayita juga akan mengangkat derajat keluarganya. Keluargaku berutang besar pada ibumu, karena beliau tidak di sini, dan aku yang jadi dhayita," kata Umma.

"Itu hadiah atas pengorbananmu, Umma. Terima kasih," kata Karin.

Karin sendiri tak mengerti apa yang dia ucapkan.Ia sama sekali tak sadar akan seluruh ucapannya. Hei, apakah aku sedang kenahipnotis? batin Karin, ia menatap ibu tirinya. Senyum tipis tersungging dibibir perempuan itu.


**Bersambung ke Lima Puluh**


Panduan membaca bahasa Korea pada naskah:

huruf vokal di Korea seperti pengucapannya.

Ae dibaca E seperti pada "ekor"

Eo dibaca O seperti pada "ekor"

Eu dibaca E seperti pada "elang"

O dibaca O seperi pada "o, p, q, r, s"

E dibaca E seperti pada "a, b, c, d, e"

H setelah huruf N sering tidak dibaca/lesap

Rahasia Baek KarinWhere stories live. Discover now