:: Bab III ::

831 76 15
                                    

Ditemani alunan musik klasik yang menggema di dalam ruang kerjanya, Putra melamun. Ia tidak bisa melepaskan bayang-bayang dari wanita dan pemuda yang ditemuinya tadi siang. Menggunakan jari jemari yang saling bertaut, dia mengusap dagunya yang dipenuhi bulu serupa warna dengan rambutnya.

Dan mungkin, Putra akan terus terjebak bersama suasana hati yang tidak mengenakan, apabila seorang wanita dalam balutan gaun malam —yang bagian bahunya terbuka— tidak masuk sambil membawa secangkir kopi beraroma nikmat. Senyum terbentuk dari bibirnya yang semerah darah. “Kopimu.”

“Terima kasih, Cheline.”

Putra tidak langsung meminum kopinya, meskipun ia selalu menyeruput cairan hitam tersebut tiap kali asapnya masih mengepul —tanda kopi itu masih hangat—. Keganjalannya pun berhasil terdeteksi oleh Cheline yang duduk di lengan sofa, seraya mengusap-usapkan tangannya yang lentik di atas bahu Putra yang tetap lebar dan gagah, seakan tidak ikut tergusur oleh usia.

“Kenapa? Apakah ada yang membuat masalah lagi di hotel? Coba, ceritakan padaku.”

Tanpa diberitahu, Putra mengerti kalau Cheline sedang berusaha memberinya ketenangan. Namun, untuk kali ini, Putra merasa ia tidak bisa menceritakannya pada wanita tersebut. Ia memilih mengalihkan perhatian dengan meraih sebuah paket yang tergeletak di atas mejanya.

Everything is oke.” Putra memaksakan senyumnya, seraya membuka bungkusan paket tersebut. Sementara Cheline tampak berpikir, antara harus mengorek informasi lebih lanjut, atau sekedar mengiyakan jawaban Putra.

“Oh, dari Pak Elang. Bagaimana kalau kita mengundangnya makan malam lagi di sini, Cheline? Rasanya, sudah lama sekali tidak bertemu dia,” ucap Putra, sesaat setelah membaca nama pengirim paket yang ada di tangannya.

Mendengar itu, Cheline dengan cepat mengangguk, “Boleh saja. Undanglah. Aku akan menyiapkan masakan yang spesial.”

Thanks, Honey.” Putra mengusap dan mengecup tangan Cheline yang berada di atas bahunya. Sesaat kemudian, ia kembali berkonsentrasi dengan kotak polos yang telah ia lepaskan bungkusannya. Elang Angkasa adalah kolega terbaik dan paling royal yang pernah Putra kenal. Jadi, isi kotak itu pasti tidak jauh-jauh dari souvenir hasil perjalanan dia mengelilingi dunia.

Putra membuka paket tersebut tanpa merasa takut. Tidak sedikitpun ia berpikiran macam-macam. Hingga akhirnya sebuah rakitan panel dengan waktu yang berjalan, menyebabkan ia maupun Cheline panik bukan main.

“B-bom?!”

“Siap?”

“1…”

“2…”

“3…”

Go!”

Serentak, 3 mobil yang berbaris itu terbuka dan orang-orang berpakaian hitam lengkap dengan senjata mereka keluar dari sana. Heningnya area perumahan elit tersebut menyebabkan derap dari sepatu boots mereka begitu berisik.

Melalui earphone yang tersambung, mereka terhubung satu sama lain dan mampu mendapatkan kode untuk masuk ke dalam rumah mewah tersebut dari rekan mereka yang telah berperan sebagai pengawal —sekaligus mata-mata—.

Begitu gerbang dibuka, para pengawal yang menyadari kehadiran mereka, telah lebih dulu dilumpuhkan. Pengawal-pengawal tidak sadarkan diri itu pun diseret oleh sebagian dari mereka ke sebuah gudang yang tidak jauh dari sana. Sementara sisanya, mengikuti arahan yang pemimpin mereka berikan.

Kehadiran mereka tentu saja memancing alarm tanda bahaya untuk berbunyi. Namun, hanya dengan satu timah panas yang melesat dari moncong pistol, kekacauan karena alarm itu pun berhasil dihentikan. Namun, masalah lain ternyata datang.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now