:: Bab LIV ::

437 58 27
                                    

Bahkan Rian belum sepenuhnya menghentikan mobil namun Mita sudah lebih dulu membuka pintu. Ia berlari keluar dengan sepatu hak tinggi yang bisa membuatnya jatuh kapan saja.

Bola mata bertameng kecemasan itu menebar perhatian ke seluruh tempat. Hingga akhirnya ia menemukan seorang wanita paruh baya dengan seragam pelayannya yang khas, berdiri mondar-mandir sambil gigit jari.

"Bi Inem!"

Inem sudah sangat lemas, berpikir tak ada siapapun yang akan datang. Tapi, kehadiran Mita membuatnya bisa menghela napas lega. Ia mendekat pada Mita bersama setetes air mata yang tidak bisa ia tahan.

"Bi, Papa kenapa bisa sampai kritis? Apa yang terjadi? Ada apa dengan Papa, Bi?"

Mita memberondongnya dengan pertanyaan yang hanya bisa ia jawab dengan gelengan lemah. Wanita itu meminta waktu untuk menenangkan diri. Sementara Mita menatapnya dengan frustasi, kelewat tak sabar untuk mendapat jawaban.

"Saya tidak tahu, Nona. Tadi pagi, sebelum saya pergi ke rumah Nona untuk bersih-bersih, Tuan masih baik-baik saja. Tapi, setelah saya kembali ke villa, Tuan sudah tergeletak di kamarnya dengan mulut berbusa."

Penjelasan Inem sukses membuat kaki Mita lemas. Ia menatap ruang UGD di hadapannya dengan sebongkah harapan. Ia hanya ingin Papanya baik-baik saja.

Tak lama, pintu itu terbuka. Seorang dokter keluar dengan raut tegang.

"Anda putri-nya Tuan Putra, kan?" tanya dokter itu, seraya menunjuk Mita. Mita pun mengangguk cepat untuk membenarkan.

"Setelah dilakukan pemeriksaan, kami memastikan Tuan Putra keracunan zat berbahaya. Saat ini, kondisinya masih kritis karena pengaruh racun yang terlanjur menyebar. Sementara itu, kami akan memeriksa zat racun apa yang masuk ke dalam tubuhnya di laboratorium. Karena setelah dilakukan pemeriksaan awal, kami menemukan bahwa zat ini juga pernah ada di dalam darah Tuan Putra saat kondisi Tuan Putra drop beberapa waktu lalu."

Berbagai pikiran berkecamuk di dalam kepala Mita. Ketakutan merambat ke setiap syarafnya hingga ia tak bisa berpikir jernih. Penjelasan dokter itu jelas tidak bermakna baik. Segala kemungkinan bisa terjadi, terlebih dengan kondisi sang Papa yang kritis.

Tubuh Mita hampir limbung. Tapi, sebuah tangan dengan cepat merangkul bahunya dan menahan dirinya agar tidak terjatuh.

Mita menoleh dan menemukan Bram yang menatapnya khawatir. Seketika saja, Mita ingin menangis. Namun, ditahannya sekuat tenaga kendati matanya sudah berkaca-kaca.

Sayangnya, pertahanan Mita digoyahkan oleh Bram yang tiba-tiba memeluknya. Pria itu menawarkan dadanya sebagai sandaran. Sementara tangannya mengusap belakang kepala Mita dan mengelus punggung sang istri dengan penuh kelembutan.

"Tidak apa-apa. Papa kamu pasti akan baik-baik saja. Jangan takut."

Kalimat penenang itu seakan menembak kantung air mata Mita sehingga ia tak mampu membendungnya lebih lama. Tangis Mita pun pecah. Ketakutan yang menguasai dirinya meluap bersama air mata.

Seraya meremas sisi jas Bram, Mita terisak di dalam dekapan pria itu. Ia tak tahu bahwa ia akan selemah ini dan pada akhirnya akan membutuhkan Bram sebagai penenang paling ampuh.

"Semua akan baik-baik saja. Percaya sama saya."

Pemandangan itu harusnya bisa menjadi tontonan mengharukan. Namun, tidak berlaku untuk seseorang yang berdiri di ujung lorong dengan telapak tangan yang mengepal erat.

"Kak, aku habis pergi ke pabrik itu."

"Apa? Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu ke sana, Mit?"

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu