:: Bab LXXI ::

297 39 1
                                    

Tirai pun disibak. Memberi kesempatan bagi cahaya matahari untuk menghangatkan ruangan.

Di tengah ruangan, seseorang duduk tanpa bicara. Hanya meratapi pergerakan pria yang menyibak tirai di hadapannya.

"Saya meminta Suryono untuk membawa mobil dengan hati-hati, mengingat anda cukup sensitif dengan guncangan tiap kali naik kendaraan, Pak Felix. Dan sepertinya, dia melakukan pekerjaannya dengan baik."

Tahu dirinya diajak bicara, namun Felix memilih untuk tidak menyahut. Ia hanya menghela napas beberapa kali, hingga menarik perhatian pria yang kini bergerak menduduki sofa kosong di sebrangnya.

"Ada apa, Pak Felix? Anda kelihatan gelisah sekali."

Pria itu menunjuk secangkir teh di sisi kanan Felix, yang sudah diseduh sejak 30 menit yang lalu. Wajar jika minuman tersebut sudah tidak lagi hangat.

"Minumlah dulu, Pak Felix. Ini teh chamomile yang biasa anda minum tiap sedang berdiskusi dengan Tuan Putra. Merk yang sama, takaran air yang sama, dan takaran gula yang sama."

"Sebenarnya apa yang kamu inginkan dari saya, Ashraf?"

Felix akhirnya buka suara. Terdengar serius dan tidak ramah. Karenanya, sang lawan bicara tergugah untuk mengulas senyuman.

"Jika kamu membawa saya ke sini untuk menghentikan saya mengungkapkan semuanya, kamu terlambat."

Felix mengenal Ashraf sebagai pria dengan minim ekspresi. Pria berkacamata itu tidak sering memasang senyum pada wajahnya, membuatnya tampak sulit untuk didekati. Namun di lain sisi, Ashraf jadi kelihatan misterius, seolah menyimpan banyak rahasia kelam yang tak boleh diketahui.

Dan citra itu masih melekat di dalam otaknya, setidaknya 10 detik yang lalu. Sebab kini, pria yang ada di hadapannya menjadi sosok Ashraf yang seakan berubah.

Dia tidak berhenti tersenyum, bahkan sesekali tergelak. Seolah sedang menonton teater komedi dengan banyolan konyol.

"Anda berpikir terlalu jauh. Tapi, setidaknya kesimpulan anda tidak salah juga," ujar Ashraf, seraya menyilangkan kedua kakinya. Ia mencari posisi duduk paling nyaman. Lagaknya itu seakan menyepelekan keberaadan Felix yang seharusnya menjadi orang yang ia hormati.

"Sebelum itu, saya cukup penasaran. Rasanya tidak mungkin Bramasta yang mengundang anda secara langsung. Apa mungkin, dia meminta bantuan Juan?"

"Berhentilah, Ashraf. Akui kesalahan kamu. Pak Putra tidak berniat membakar pabrik itu namun kamu menghasutnya dengan membuat laporan palsu kepada Wara Group atas nama Valerie dan serikat buruh." Felix memberanikan diri untuk membujuk. Meski tak cukup yakin apakah ia bisa melunakkan hati batu yang tertanam di dalam dada Ashraf.

Untuk yang kedua kali, Ashraf tergelak, "Saya hanya bertanya, Pak Felix. Kenapa saya tiba-tiba disuruh berhenti? Memangnya apa yang saya lakukan?"

"Ashraf—"

"Laporan palsu itu memang benar," sela Ashraf, membenarkan. Sampai di sini, senyumnya masih terpampang. Namun, tak butuh sampai satu detik untuk membuat wajahnya kembali datar, seolah ia tak memiliki emosi sama sekali.

Dengan sorot dingin yang mengantarkan banyak makna, Ashraf kembali berbicara, "Tapi, apa anda begitu yakin bahwa Tuan Putra yang memberi perintah untuk membakar pabrik itu?"

Menyadari ada yang tidak beres pada pria itu, Felix meneguk ludahnya dengan perasaan gundah. Kendati demikian, semaksimal mungkin ia tak mau menunjukkan perasaannya tersebut atau Ashraf bisa saja memanfaatkan kondisinya itu untuk bertindak macam-macam.

Ashraf meniti fokus pada Felix. Menatap pria paruh baya itu lekat-lekat. Selama beberapa menit, ia berhasil membuat Felix panas dingin.

"Seandainya Tuan Putra ada, beliau pasti bisa menjawab pertanyaan itu. Sayangnya, dia sedang sekarat. Bahkan, bisa saja mati dalam hitungan menit dari sekarang."

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang