:: Bab X ::

380 36 7
                                    

"Saya menginginkan kamu, Sasmita. Karena kamu akan menjadi alat terbaik saya untuk menghancurkan Papa yang kamu sayangi itu."

Deg!

Kalimat menyeramkan itu sukses memantik kesadaran Mita. Ia spontan terbangun. Duduk ditemani jantung yang berdegup kencang.

Pantulan cahaya matahari yang menembus lorong rumah sakit memberitahu Mita bahwa hari sudah pagi. Ia berhasil melewati malam yang melelahkan itu dengan tertidur. Meski harus terbangun karena mimpi buruk.

Mita menarik napas kuat-kuat untuk mengisi rongga dadanya yang menjadi sesak. Efek mimpi buruk itu tidaklah main-main.

Apa maksud dari mimpinya itu?

Mustahil jika Mita tak bertanya-tanya.

Dengan sedikit linglung, Mita mengedarkan pandangan. Yang kemudian membuatnya menemukan sosok Warna berjongkok di dekat pintu ruangan Mama mereka. Kepala yang tertunduk dalam itu menandakan Warna masih terlelap.

Mita memungut jaket sang adik yang terjatuh dari tubuhnya. Jaket abu-abu itu sudah menjadi penghangat untuknya semalaman.

"Na," panggilnya, mendekati Warna.

Pemuda itu menguap kecil. Kedua matanya mengerjap memperhatikan keadaan. Berusaha mengumpulkan kembali nyawanya yang mengawang di alam mimpi sebelum akhirnya bangkit.

Mita mengusap-ngusap punggung Warna, "Siap-siap berangkat sekolah sana. Kamu bawa baju seragam kamu, kan?"

Warna mengangguk singkat. "Hari ini, Kak Mita ke kantornya Papa?"

Tidak langsung menjawab, Mita justru menghela napas. Seketika ia teringat dengan agenda hari ini yang sudah dibuatkan oleh Ashraf. Agenda itu bahkan masih terbuka di dalam ponselnya setelah semalam tak sengaja ia tinggal tidur.

"Hm," gumam gadis itu. "Kamu gak apa-apa, kan, kalau jaga Mama dulu habis pulang sekolah?"

"Gak apa-apa, Kak. Warna tahu apa yang harus Warna lakuin, kok."

Senyum kecil terbentuk di sudut bibir Mita, "Ya udah. Kamu mandi sana. Kakak cariin sarapan dulu buat kamu."

...

Suasana pagi ini di kediaman megah Putra Adiswara tidak jauh berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Hanya saja, kehadiran seorang pria yang duduk menunggu di ruang tamu itu cukup sukses mengganggu aktivitas sang pemilik rumah yang sedang menikmati sarapannya.

"Apa maksud pembicaraan kamu semalam, Bramasta?"

Bram menyandarkan punggungnya. Sikapnya begitu santai. Ada seulas senyum yang ia berikan untuk Putra, "Anda tidak mengerti?"

Putra memicing curiga. Sepertinya, dugaannya salah besar. Penampilan Bram pagi ini sangat baik, tidak menunjukkan gelagat orang yang teler karena mabuk semalaman. Yang berarti, pembicaraan mereka di telfon itu dilakukan Bram secara sadar. "Kamu serius?"

"Saya sudah terlanjur menandatangani surat itu. Saya tidak mungkin kabur, kan? Mau tidak mau, saya harus tetap menikahi putri anda. Bukannya begitu?" balas Bram.

Pria itu kemudian beralih pada waktu yang ditunjukkan oleh jam tangannya, "Ini adalah hari pertama putri anda bekerja di tempat barunya. Selain itu, anda juga harus mengenalkan saya secara langsung kepadanya dan seluruh karyawan yang bekerja untuk anda. Bagaimana kalau kita berangkat sekarang?"

Tatapan Putra terhadap Bram menunjukkan kewaspadaan. Ada setitik rasa cemas yang menghampiri hatinya, sesaat setelah ia sadar bahwa pria di hadapannya nyatanya bukanlah lawan yang lemah.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now