:: LXXVII ::

358 43 1
                                    

Pesta barbeque yang merangkap menjadi pesta perayaan kehamilan Mita pun usai saat waktu menunjukkan pukul 10. Orang-orang sudah masuk ke dalam villa dan berpikir untuk segera beristirahat. Termasuk pula Bram dan Mita.

Keduanya masuk ke dalam kamar yang telah disiapkan Inem. Kedua mata Mita jelalatan menelaah kondisi kamar yang cukup luas, namun hanya memiliki satu ranjang.

Ia pun bergerak menuju pintu, yang dihadang Bram dengan cepat.

"Kamu mau kemana? Sudah malam. Sudah waktunya istirahat."

"Mau minta tolong Bi Inem siapkan kasur lipat."

"Kasur lipat? Untuk apa?" Kebingungan membuat alis Bram terangkat.

Mita tak menjelaskan. Ia hanya melirik ranjang di tengah-tengah kamar seraya menggaruk tengkuk lehernya dengan canggung.

Mengerti apa yang Mita pikirkan, Bram pun meraih tangan gadis itu kemudian mengajaknya duduk di tepi ranjang.

"Saya pikir, kita tidak perlu lagi tidur di ranjang yang berbeda," ujar Bram, yang langsung mendapat tatapan ragu Mita. Ia mengulas senyum, "Kenapa melihat saya seperti itu? Lagipula, kita suami istri, kan?"

"Apa hal ini juga berlaku ketika kita pulang nanti?" Meski pertanyaan itu terkesan aneh, Mita tak peduli. Ia hanya ingin memastikan.

Anggukan mantap Bram seakan menebar benih bunga di dalam hati Mita. Keraguan dari sorot matanya tergantikan oleh binar kebahagiaan.

Tanpa banyak pertimbangan, gadis itu berhambur ke dalam pelukan Bram. Terlalu cepat hingga sang suami terjungkal dan berakhir berbaring di ranjang.

Kendati terkejut, Bram tak mempermasalahkannya. Ia justru melipat tangan di bawah kepala sebagai bantalan, sementara tangan lainnya menjadi bantalan untuk kepala Mita sekaligus untuk mengusap punggung istrinya. Menikmati keheningan berpadu deru napas yang teratur dan tenang.

"Bram?"

"Hm?"

"Setelah makan malam tadi... apa yang kamu bicarakan dengan Papa?"

Bram menatap langit-langit kamar seraya memikirkan jawaban atas pertanyaan itu. Masih segar di ingatannya tentang isi pembicaraannya bersama Putra di samping api unggun.

"Kamu hampir mencapai tujuan kamu, Bramasta."

Putra berbicara sesaat setelah menerima segelas kopi hangat dari Bram. Adanya kursi kosong di samping pria itu, Bram pun duduk di sana. Pandangan mereka sama-sama mengarah pada api unggun yang terus berkobar dan menyebarkan kehangatan.

"Sesuai janji saya waktu itu, saya akan membayarkan kompensasi kepada para keluarga korban tragedi 12 tahun yang lalu karena kamu berhasil memberi saya keturunan pewaris tahta Wara Group," terang Putra, seraya menyesap kopinya perlahan. Aroma wangi yang khas serta rasa pahit sedikit asam menyerang indra pengecap.

"Syukurlah anda masih mengingat janji itu."

"Tapi, sebelum itu, pastikan kamu menangkap Ashraf."

Permintaan tersebut disampaikan Putra sembari menoleh pada Bram. Ia menatap pria itu dengan serius.

Bram membalas tatapannya disertai ambisi yang menyala-nyala, "Saya pastikan dia bertanggung jawab atas segalanya."

"Setelah itu, saya juga akan menyerahkan diri saya." Putra menghela napas dengan berat. Ada sebongkah penyesalan terlukis di dalam bola mata yang memantulkan pemandangan api unggun. "Bagaimanapun, saya juga memiliki andil di dalam tragedi itu."

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now