:: XLIV ::

360 43 6
                                    

Bug!

Bram memukul setir kemudinya untuk yang kesekian kali. Emosi menguasai akal sehatnya sehingga ia memilih untuk menepi. Ketimbang menyetir dalam keadaan tidak berkonsentrasi.

Usai membanting pintu, pria itu bersandar dan membiarkan angin kencang menerpa wajahnya. Lalu lalang mobil di jalan layang itu tak sedikitpun membuatnya terganggu.

Ia mengambil jalan yang salah. Sudah seharusnya ia tidak melunak pada Mita. Kalau sudah begini, semuanya berpotensi hancur berantakan.

Perasaan Mita untuknya memang akan menjadi urusan Mita dan Bram cukup mengabaikannya. Namun, Bram tahu dirinya bukan orang yang setega itu.

Di samping menyusun rencana untuk menghancurkan Putra Adiswara, ia justru tak berbuat apapun untuk menyengsarakan Mita. Alih-alih membuat Mita menjauh, ia malah menarik Mita untuk mendekat.

Dan Bram semakin kesulitan ketika ia menyadari bahwa Mita memiliki banyak kesamaan dengan wanita yang dicintainya setengah mati. Tiap melihat Mita, bayang-bayang Erie selalu merasuki pikirannya dan sukses mencairkan hatinya yang keras.

Posisi sebagai anak perempuan pertama yang memiliki tanggung jawab berat, parfum bunga lily yang memabukkan, dan bermusuhan dengan makanan pedas. 3 hal yang selalu melekat pada diri Erie, kini Bram temukan pada diri Mita. Ia tidak ingin hal itu mengganggunya, tapi Bram tidak bisa mencegahnya untuk terus terjadi.

Bram meraih liontin kalungnya. Diremasnya benda itu kuat-kuat. Luka tempo hari yang menghiasi telapak tangannya kembali terbuka dan darah yang merembes membasahi liontin tersebut.

"Perasaanku tidak akan berubah, Rie," bisiknya. Dibukanya liontin itu sehingga ia bisa mengusap potret bahagia Erie yang sengaja ia taruh di sana. Ia menggeleng, "Tidak akan. Aku tidak akan terpengaruh oleh perasaanya Mita. Hanya kamu satu-satunya. Hanya kamu."

"Bramasta..."

Bram mengangkat pandangan secara perlahan. Ia mengenali suara itu dan ia terlalu takut untuk menemukan sang pemilik suara. Ia takut kalau dirinya berhalusinasi.

"Aku mohon, berhentilah."

"E...rie?"

Bram melongo. Ia mengerjap beberapa kali hanya untuk memastikan dirinya salah lihat. Namun, sosok itu masih berdiri di hadapannya. Bersama sedikit senyum yang memancarkan kesedihan.

"Berhentilah menyakiti Sasmita. Aku mengikhlaskan kamu dengannya. Tapi, tolong jangan sakiti dia."

Bram mencoba mendekat. Tapi, Erie justru mengambil langkah mundur.

"Erie... kamu...—"

"Dia tidak bersalah. Tidak pula Papanya. Hentikan rencana kamu, Bram. Bukan mereka yang salah."

"Erie, kenapa kamu bicara begitu?"

"Sasmita tulus. Dia bisa menjagamu dengan baik, bahkan lebih baik dariku."

Kepala Bram menggeleng. Ia tak setuju dengan kalimat itu. Tak ada yang lebih baik dalam menjaganya  kecuali Erie.

"Jangan bicara begitu, Erie."

"Ingat pesanku, Bram. Jangan sampai kamu menyesal," ujar Erie, sesaat sebelum sosoknya tiba-tiba menghilang. Seolah terbang bersama angin yang berhembus kencang.

"Erie— ERIE!"

Teriakan Bram menyiratkan keputusasaan. Ia mengedarkan pandangan dengan membabi buta, mencari keberadaan Erie.

Namun, sosok gadis itu tak bisa ia temukan. Erie benar-benar lenyap. Padahal baru 5 detik yang lalu ia melihat sosok yang solid di hadapannya. Dengan mata kepalanya sendiri.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now