:: Bab LXIII ::

393 45 23
                                    

Bram dan Dana mendengarkan setiap penjelasan Adam dengan seksama. Pria itu mengangguk mantap.

"Saya juga lihat mobil itu hari ini, Mas. Itu mobil yang dipakai Harrish Harun untuk memenuhi agenda di luar agenda pemerintahan."

"Saya tidak bisa melanjutkan interview ini. Saya permisi."

"Tunggu."

Hanya dengan satu kata, Adam berhasil membuat seorang Harrish Harun menghentikan langkahnya. Padahal, pria itu bisa mengabaikannya namun entah mengapa ia justru memutar tubuh agar bisa leluasa menatap Adam.

"Apa lagi?!" Pekikan Harrish mengguncang lokasi interview itu, hingga beberapa staff Newspatch yang bertugas meliput interview eksklusif tersebut bergidik ngeri.

Tapi, hal itu tidak berlaku untuk Adam. Alih-alih menjaga jarak agar tak kena amukan, ia bergerak mendekat.

"Satu pertanyaan lagi, Pak."

Harrish tidak mengiyakan ataupun menolak permintaan Adam. Hanya menatap pria di hadapannya itu dengan alis berjengit kesal dan deru napas yang kasar. Persis seperti banteng yang baru saja melihat bendera merah.

"Tanggal 5 Mei, pukul 19.08, apa yang anda lakukan di Lapas Sukamulya?"

Pertanyaan yang diajukan Adam mungkin tak bisa dimengerti oleh orang lain. Namun, ia yakin Harrish memahaminya lebih dari siapapun.

Terbukti dari perubahan kerut wajah dan gestur tubuh yang seketika tegang. Adam memperhatikan setiap perubahan, sekecil apapun, yang menjadi reaksi Harrish atas pertanyaannya.

Harrish terkelu. Beberapa kali mulutnya terbuka, mempertanyakan cara Adam mengetahuinya.

Akan tetapi, mengingat pesan Ashraf, pada akhirnya ia hanya mampu mendorong bahu pria itu dengan kasar. Lalu memberinya sebuah ancaman.

"Jangan macam-macam sama saya. Mau sekecil apapun umpan kamu, saya bisa saja balik memakan kamu. Jadi, berhati-hatilah dengan semua pertanyaan ataupun informasi yang kamu punya."

Menghindari pecahnya keributan yang lebih besar, Harrish segera dibawa pergi oleh pengawal dan asistennya. Sementara Adam memilih untuk mengikutinya dengan memastikan jarak di antara mereka tak membuat Harrish sadar bahwa dirinya tengah diikuti.

Bertepatan dengan mobil yang ditumpangi Harrish pergi, Adam fokus pada plat yang terpasang di belakang. Ia mencocokannya dengan foto yang Bram kirimkan beberapa saat lalu.

"Kalau begitu, Harrish Harun yang membunuh Arnold Wijayanto?" tebak Dana, menarik kesimpulan.

Bram menanggapinya dengan helaan napas berat, "Bisa jadi. Tapi, hanya bukti ini yang kita punya."

"Saya akan coba temui dia lagi besok, Mas," ujar Adam, mencoba memberi solusi. Namun, Bram tak kelihatan setuju akan solusi tersebut. "Saat ini dia pasti mewaspadai kamu, Dam. Tidak mudah untuk membujuknya agar mau bertemu kamu lagi."

"Kalau begitu, saya akan coba dapatkan CCTV dari lapas. Arnold Wijayanto adalah tersangka dalam kasus yang saya usut. Saya bisa menggunakan itu sebagai alasan." Dana pun buka suara. Solusinya itu segera mendapat anggukan setuju dari Bram dan Adam secara bersamaan.

"Jika Harrish Harun terlihat di CCTV pada hari itu, maka kita bisa memastikan dia yang membunuh Arnold Wijayanto," jelas Adam, yang mengerti dengan tujuan Dana.

Bram pun mengalihkan perhatian pada Dana, "Tadi Pak Dana bilang Pak Dana menemukan sesuatu tentang pabrik Wara Group. Apa itu?"

"Surat jual-beli lahan-nya, Pak. Ternyata, Papa saya menyimpan beberapa berkas terkait lahan dan bangunan pabrik tersebut. Dan saya menemukan surat jual-beli yang nampaknya dipalsukan."

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now