:: Bab LXX ::

381 37 26
                                    

Di atas sepatu hak tinggi-nya, Mita menerjang masuk ke dalam IGD. Hiruk pikuk orang yang berlalu lalang diburu waktu dan kondisi antara hidup dan mati terpampang nyata di hadapannya. Ia sempat kelabakan, sebelum akhirnya bergerak menuju meja administrasi untuk bertanya.

"Permisi, saya mencari pasien atas nama Ira. Baru dimasukkan ke sini beberapa menit yang lalu."

"Oh, pasien atas nama Bu Ira sudah di bawa ke ruang operasi, Bu. Dari sini, Ibu tinggal lurus kemudian belok ke kanan."

Usai mengucapkan terima kasih, Mita pun menguntai kembali langkahnya. Menyusuri rute yang diarahkan oleh perempuan di balik meja administrasi itu.

Sesuai dengan arahan, Mita berhasil menemukan ruang operasi yang dimaksud. Lampu di sebelah pintunya berwarna merah, tanda operasi masih berlangsung.

3 orang menunggu dengan cemas. Mita menghampiri sang suami yang tak melakukan apapun kecuali terduduk lemas dengan kepala tertunduk dalam.

"Bram."

Dengan wajah pucat, Bram menoleh. Ia tak menyangka Mita akan benar-benar datang.

Kedatangan gadis itu pun nyatanya juga mencuri perhatian Nesa serta Adam yang tidak berhenti merapalkan doa untuk kondisi Ira. Seolah reaksi yang wajar, mereka menyambut Mita dengan dingin dan ketus.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Bunda sampai harus dioperasi, Nes?" tanya Mita, yang kini mendekati Nesa. Kekhawatiran yang terlukis pada mimik wajahnya bukanlah akting semata. Sama seperti gadis di hadapannya, ia merasakan kekhawatiran yang sama.

Di balik matanya yang berkaca-kaca dan memerah, Nesa melayangkan tatapan tajam kepada Mita. Dadanya terbakar amarah.

"Ini karena kamu," jawabnya kemudian, berbisik namun menusuk. "Semuanya hancur karena kamu, Sasmita!"

Bruk!

Emosi menyebabkan kekuatan Nesa bertambah seribu kali lipat hingga ia mampu mendorong Mita, menyebabkan gadis itu terjerembab. Namun, kendati Mita sudah kesakitan karena terjatuh, Nesa tak berhenti sampai di situ.

Ia lantas menjambak rambut Mita lalu berteriak mencacinya dengan sepenuh hati, "Kamu menghancurkan semuanya, Sasmita! Gara-gara kamu, Kak Bram jadi menjauh dari kita! Gara-gara kamu, Kak Bram jadi berani menyakiti Bunda!"

"Vanesa, berhenti!"

Sensasi perih menyerang kepala Mita. Rambutnya ditarik dengan kencang hingga ia menyadari beberapa helai rambutnya terputus.

Beruntung Bram langsung membantunya. Pria itu berusaha melepaskan tangan Nesa dari rambutnya dan mendorong gadis itu untuk menjauh. Tapi hal tersebut tak membuat amarah Nesa menjadi surut.

"Kamu penghancur, Sasmita! 'Anak pembunuh' seperti kamu gak seharusnya hidup!"

Meski sudah dibopong oleh Adam, kaki dan tangan Nesa masih menguntai hendak menyakiti Mita. Kuku tajam gadis itu pun berhasil menggoreskan satu luka panjang di pipi Mita hingga mengeluarkan darah.

"Vanesa, stop! Kamu harus tenang!" tegur Adam, yang kemudian membawanya duduk di kursi yang jauh dari Mita dan Bram. Menggunakan tubuhnya yang besar dan kekar, Adam menghalangi arah pandangan Nesa agar tak tertuju pada mereka berdua.

"Gimana aku bisa tenang, Mas Adam?! Kak Bram gak pernah kayak gini! Kak Bram jadi begini karena 'anak pembunuh' itu! Dia harus dikasih pelajaran!"

Nesa menumpahkan kekesalannya. Hanya melihat dari napasnya yang memburu ditambah penampilan yang acak-acakkan, orang akan tahu seberapa kesal dirinya.

"Ya, tapi, jangan dengan cara seperti itu! Kamu membuat keributan, tahu, gak?!"

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now