:: LXVII ::

318 39 3
                                    

"Apa mereka memberi kamu makan?"

"Apa tidak ada pertanyaan lain selain itu? Kesannya, saya ini pemburu makanan."

Bram mengedikan bahu, "Begitu keluar, wajah kamu pucat. Saya pikir kamu sangat kelaparan."

Mita tersenyum geli. Ia memang belum makan apapun sejak pagi tadi. Bahkan sejak semalam. Namun, jika dipaksa makan pun, ia rasa perutnya juga akan menolak. Membantah dugaan Bram, ia tidak merasa lapar sama sekali.

"Kita ke rumah sakit saja. Saya mau lihat Papa."

"Kondisi Papa kamu masih sama seperti tadi malam."

Sebenarnya, Bram merasa berat hati untuk mengatakannya. Tapi, ia pikir Mita perlu tahu sekecil apapun tentang kondisi Putra kendati tak ada perkembangan.

Mita menghela napas dengan berat. Keajaiban yang katanya bisa datang dalam satu malam nampaknya tak berlaku untuk kondisi sang Papa.

"Kamu tidak memberitahu Mama tentang yang tadi, kan?"

Mengerti maksud Mita, Bram kemudian menggeleng, "Tidak. Mama kamu dan Warna tidak tahu apa-apa tentang kamu yang ditangkap. Saya mencegah mereka melihat berita. Lagipula, mereka sibuk dengan pemindahan Papa kamu ke ruang ICU."

"Terima kasih."

Tepat ketika lampu merah menyala, Bram menginjak rem. Ia menatap istrinya yang kini menunduk dalam, merenungi banyak hal.

"Pasti mengejutkan untuk kamu."

Bram mengeluarkan sebungkus plester luka dari laci dashboard mobilnya. Motif 'Smile' memenuhi selembar plester luka yang ia gunakan untuk menutupi lecet di jari Mita, bekas garukan gadis itu.

Tak menolak, Mita hanya membiarkan Bram mengurus lukanya dengan telaten. Pria itu selalu tahu apa yang ia butuhkan.

"Saya sampai tidak tahu harus apa, padahal saya diberi kesempatan untuk menghubungi siapapun agar bisa meminta bantuan." Mita menceritakan apa yang terjadi. Mengingat kebodohannya itu membuatnya menggeleng, tak habis pikir pada dirinya sendiri.

"Tapi, bagaimana kamu bisa terpikir untuk membawa salinan surat kerjasama yang saya simpan?"

Sebelum kembali menyentuh setir kemudinya, Bram mengusap luka Mita yang sudah sepenuhnya tertutup plester luka. Ada mantra ajaib yang ia bisikkan agar luka itu bisa cepat sembuh.

Ia pun tancap gas begitu lampu lalu lintas berubah hijau. "Saya hanya berpikir bahwa kamu dijebak."

"Kamu berpikir saya dijebak?"

"Bagaimanapun, kamu orang yang cukup teliti sebenarnya. Jadi, tidak mungkin kamu melewatkan satu hal yang mencurigakan di surat kerjasama itu. Kalau ada yang mencurigakan, kamu tidak mungkin menandatanganinya, kan?"

Mita membenarkan, "Polisi tadi menunjukkan surat kerjasama milik perusahaan itu sebagai bukti. Tampilan suratnya berbeda dengan surat yang kami gunakan untuk memulai kerjasama. Walau cuma melihatnya sekilas, saya juga menyadari ada yang aneh dari tandatangan saya di surat itu."

"Saya menyarankan polisi untuk membandingkan surat yang kamu punya dan surat yang menjadi bukti mereka. Hasilnya, surat yang menjadi bukti itu sudah sepenuhnya direkayasa."

Sejak awal menduduki tahta sebagai calon pewaris, Mita sudah membayangkan lingkungan macam apa yang akan ia masuki. Namun, yang terjadi hari ini jauh di luar bayangannya. Terlebih di saat kondisi Papanya yang kian memburuk. Sebuah momentum yang pas untuk menjerumuskannya ke dalam lubang kehancuran.

Tak terasa, perjalanan membawa mereka kembali ke tempat asal. Sesuai permintaan Mita, Bram mengantarkan gadis itu di rumah sakit.

"Kamu tidak ikut ke dalam?" Mita bertanya begitu menyadari hanya dirinya yang melepas sabuk pengaman. Dilihatnya Bram menggeleng, kemudian menjawab, "Saya harus pergi ke kantor."

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now