:: Bab LX ::

386 54 5
                                    

"Apa yang kalian bicarakan tadi?"

Bram bertanya usai melepas sepatunya. Mita yang baru akan beranjak menuju lantai 2, berhenti sebentar.

"Dia bertanya kenapa saya tidak main ke rumahnya lagi."

Bram merespon jawaban Mita dengan kedua alis terangkat. Sedikit tidak yakin namun memilih untuk tetap percaya.

"Bagaimana kalau kita ke rumahnya besok? Sudah lama kita tidak bertemu Bunda. Mumpung besok akhir pekan."

Kalau untuk ajakan Mita kali ini, Bram benar-benar tidak yakin. Ditatapnya sang istri yang tersenyum itu dengan mata memicing.

"Kamu tidak salah?" tanyanya memastikan. Di detik itu juga, Mita mengangguk mantap, "Saya ingin makan masakan Bunda. Ayam rica-nya sangat enak."

Awalnya, Bram sempat berpikir yang tidak-tidak terkait ajakan Mita itu. Namun, nampaknya pikirannya saja yang terlalu liar. Ia lantas mendecak, "Kamu tidak ingat terakhir kali kamu makan ayam rica buatan Bunda, apa yang terjadi sama kamu?"

Mengingat situasi yang dimaksud Bram, Mita kemudian terkekeh kecil, "Saya pasti akan merepotkan kamu kalau kejadian itu terulang lagi."

Tak lama berselang, dia berbisik pelan, "Ah, tapi ayam rica itu enak sekali."

Berkat pendengarannya yang tajam, Bram yang sudah akan pergi memasuki kamarnya lantas berhenti. Begitu berbalik, ia melihat Mita yang masih berdiri di anak tangga kedua dengan wajah cemberut.

"Kamu ingin sekali makan ayam rica-nya Bunda?"

Sedikit terhenyak, Mita langsung mengibaskan tangannya dan menggeleng. Ia pikir Bram sudah benar-benar masuk ke kamarnya.

"T-tidak juga, kok. Kalau besok tidak bisa ke rumah Bunda, mungkin lain kali saja."

"Bukan masalah bisa ke rumah Bunda atau tidak. Tapi, kamu tidak bisa makan makanan pedas."

Apa yang Bram katakan tidak salah sama sekali. Seandainya ia terlahir kuat makan makanan pedas, mungkin ia bisa makan berbagai macam masakan enak di dunia. Termasuk ayam rica-nya Ira.

Meski tak suka dengan fakta itu, Mita terpaksa menerimanya. Sementara itu, Bram yang terpikirkan akan satu jalan keluar lantas menghela napas.

"Besok kita ke rumah Bunda. Setelah menjenguk Papa kamu. Bagaimana?"

Mendengar tawaran itu, Mita sontak mengangkat wajahnya. Kendati tak yakin punya kesempatan untuk makan ayam rica buatan Ira, paling tidak ia merasa senang bahwa Bram juga mengajaknya untuk menjenguk sang Papa. Padahal, pria itu bisa saja tidak memedulikan Putra bahkan meski mertuanya tersebut sekarat sekalipun.

"Oke, saya setuju." Senyum Mita terukir lebar. Terpancar ketulusan yang hanya bisa dilihat dengan perasaan. "Terima kasih... karena kamu masih mau peduli pada Papa."

Sedikit tidak menyangka dengan ucapan terima kasih Mita, Bram merespon ala kadarnya. Kini, Mita yang lebih dulu beringsut untuk melanjutkan perjalanannya menuju kamar.

Namun, sebelum Mita berhasil menginjak anak tangga ke-4, Bram kembali memanggilnya.

"Kamu tidur sendiri malam ini?"

Pertanyaan yang lumayan mencengangkan. Mita sampai terdiam selama beberapa detik, kendati ia hanya perlu mengangguk untuk menjawabnya.

"Sudah tidak takut?" Bram bertanya lagi. Dari air mukanya, dia terlihat begitu penasaran.

"Saya masih mencoba untuk menghilangkan ketakutannya. Tapi, saya yakin saya bisa tidur sendirian malam ini," jelas Mita, yang dicerna Bram dengan sebaik-baiknya. Pria itu pun turut senang dengan upaya Mita agar terbebas dari rasa takut dan seluruh bayang-bayang terkait kematian Tarma.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now