:: Bab LXXXVI ::

420 35 0
                                    

"PAPA!"

Mita tak melepaskan tangannya sedikitpun dari leher Putra. Ia harus menahan agar tidak ada lebih banyak darah yang keluar, yang berpotensi membuat Papanya sekarat.

Seorang perawat menahannya ketika ia hampir menerobos masuk ke dalam ruang operasi. Mita berusaha mengelak dari cegatan mereka namun pintu terlanjur ditutup. Ia tak lagi punya akses untuk melihat keadaan sang Papa, kendati ia ingin sekali memastikan Papanya tetap baik-baik saja. 

Mita jatuh terduduk. Sekujur tubuhnya bergetar. Ia menatap telapak tangannya yang sepenuhnya berwarna merah. Darah yang menyembur keluar dari luka tikaman di leher Putra telah menyerap ke dalam kulit telapak tangannya. 

Seandainya ia bisa memperkirakan Ashraf akan bertindak nekat, ia tak akan membawa Putra ke sana. Seandainya ia lebih berhati-hati, ia bisa mencegah Ashraf mencelakai Papanya. Seandainya ia bisa, akan lebih baik jika ia yang terluka ketimbang ia harus mengorbankan nyawa Putra untuk yang kesekian kali.

Air mata Mita membanjiri pipi. Ketakutan merengkuhnya dengan sangat erat. Terbayang oleh kondisi terakhir Papanya yang bahkan divonis tidak akan bisa selamat membuatnya ketakutan setengah mati. Jika hal itu terjadi lagi, Mita tak yakin bisa hidup dalam kedamaian. 

...

Bug! Bug! Bug!

Seolah 3 peluru yang menembus kulit punggungnya tak cukup untuk membuatnya tersiksa menahan sakit, Ashraf harus memasrahkan diri menerima pukulan bertubi-tubi dari Bram yang membuat wajahnya semakin tidak berbentuk. Darah terus keluar dari setiap lubang di wajahnya ketika bogem mentah Bram terasa semakin keras. Namun, tak ada yang bisa dirinya lakukan kecuali menerima itu semua. Bahkan, kalaupun ia protes rasanya tak ada seorang pun yang bersedia membela.

"PAK BRAM, BERHENTI!"

Krisna mengerahkan tenaga ekstra untuk menghentikan Bram yang nampak mengerikan. Layaknya monster yang marah, pria itu selalu bisa melepaskan diri dari cengkramannya dan berakhir menghajar Ashraf hingga kehilangan kesadaran.

"PAK BRAM, ANDA BISA MEMBUAT PAK ASHRAF MATI! KALAU SUDAH BEGITU, SAYA TIDAK AKAN RAGU UNTUK MENJADIKAN ANDA TERSANGKA!"

Teguran keras Krisna bisa dibilang sukses kali ini. Sebab, Bram menghentikan tinju-nya di udara sebelum akhirnya melepaskan cengkraman di leher Ashraf dan bangkit dengan gontai dari atas tubuh pria itu. 

Namun, alih-alih berhenti, Bram justru melakukan hal tak terduga yang lain. Dengan gampangnya ia mengambil borgol dari salah seorang petugas polisi lantas menggunakan borgol itu untuk memborgol tangannya dan tangan Ashraf.

Ia pun beralih pada Krisna. Terlihat santai, Bram menggumam, "Bawa kami berdua. Saya siap jadi tersangka jika itu bisa membuat saya membunuh bajingan ini dengan tangan saya sendiri."

...

Lampu indikator ruang operasi menjadi pusat dari seluruh perhatian yang Mita miliki. Sekian detik berlalu namun warna lampu tersebut tak kunjung berubah. Semakin waktu berjalan, semakin cemas perasaannya. 

Mita meninggalkan kursinya, mondar-mandir di depan ruangan seraya mencari celah untuk mengintip keadaan di dalam. Menilik pada layar monitor yang menampilkan nama sang Papa sebagai pasien dalam penanganan, ia tak berhenti memanjatkan doa untuk keselamatan Putra.

"Mita!"

Jerit dari suara yang sangat ia kenal membuat Mita menoleh. Begitu berhasil memastikan siapa pemilik suara itu, Mita semakin kelabakan. Ia tak tahu bagaimana harus terlihat tegar di saat ia terlalu takut kalau saja Papanya tidak berhasil diselamatkan.

"Mah..."

Berakhir menumpahkan air matanya, Mita hanya bisa memeluk Anggi yang berjalan gontai mendekat ke pintu. Warna pun hadir dan berusaha memapah sang Mama menuju kursi, tapi Anggi menolak. Tatapan kosong wanita itu mengarah pada ruang operasi, tempat dimana sang mantan suami tengah ditangani. Juan yang mengantar mereka hanya bisa menatap prihatin.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now