:: Bab LXXIII ::

315 45 3
                                    

Setelah memberikan satu buah susu bermerk 'Mom's Care' kepada gadis di hadapannya, Adam mengambil tempat. Memberi jarak beberapa puluh senti, ia duduk di samping gadis itu.

Pemandangan di taman belakang rumah sakit nyatanya tidak terlalu buruk. Justru lebih tenang meski terkesan berantakan karena banyak daun berguguran yang tidak disapu. Angin yang berhembus membawa sensasi sejuk. Keduanya menikmati atmosfer tersebut, dalam keaadan masih menutup mulut.

Setidaknya, butuh waktu bagi Adam memberanikan diri untuk memulai pembicaraan. Ia berbicara dengan suara pelan. Seolah tak cukup yakin bahwa ia ingin gadis itu mendengarnya.

"Maaf."

Karena situasi di sekitar mereka yang terlalu sunyi, mustahil jika Mita tak mendengar apa yang Adam katakan. Tidak langsung merespon, ia membiarkan Adam melanjutkan meski ada jeda yang lumayan lama.

"Saya minta maaf, atas sikap Nesa dan... sikap saya juga kepada anda selama ini."

Mita mengulas senyum kecil, "Bukankah 'anda' terlalu formal? Pakai saja 'kamu'."

"Apa?"

"Saya memaklumi sikap kamu ke saya. Saya mengerti alasan di balik semua sikap kamu itu. Bahkan, harusnya bukan kamu yang minta maaf. Tapi, saya."

Menarik napas berat, Mita tak berani membalas tatapan Adam walau ia tahu bahwa pria itu tengah memandanginya ditemani kening yang berkerut.

"Saya sudah mendengar tentang apa yang terjadi dengan keluarga kamu. Tolong, maafkan Papa saya walau saya tahu perbuatannya jelas tidak akan bisa dimaafkan," sambungnya, memohon. Mengingat kembali cerita Bram mengenai tragisnya nasib Adam, hati Mita pun seakan diremas dengan kuat. Ia hanya bisa menunduk dalam.

Adam tak bisa berkata-kata. Ia bingung harus merespon apa. Menemukan ketulusan dari setiap kata yang terlontar dari bibir Mita, menimbulkan perasaan bersalah di hatinya. Pembelaan Bram tempo hari pun terngiang-ngiang di dalam kepalanya.

"Saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Seandainya saya tahu lebih cepat, saya akan mencegah Papa saya. Termasuk... tentang tragedi kebakaran itu."

"Lagipula, semuanya udah terjadi. Kita gak akan bisa memutar kembali waktu, kan?" balas Adam lirih, lantas meneguk kopi instan miliknya.

Yang Adam bilang memang benar. Mau Mita berandai-andai sampai mulutnya berbusa pun, ia tidak akan bisa kembali ke waktu 12 tahun yang lalu hanya untuk mencegah Papanya terlibat dalam kejadian mengenaskan itu. Bahkan, jika ia bisa kembali pun, ia pasti akan sibuk menyembuhkan dirinya sendiri karena kehancuran keluarganya.

"Tapi, tetap aja, saya harus berterima kasih ke kamu, Mita."

"Terima kasih? Untuk?"

"Karena kamu bersedia membantu kami. Apa kamu benar-benar rela Papa kamu dihukum jika ternyata dia memang bersalah?"

Itu adalah pertanyaan sulit. Apabila ada orang yang menawarkan Mita uang 4 miliar agar Papanya dipenjara saja, rasanya ia tidak akan serta-merta menerima.

Bagaimanapun, ia adalah anak yang tak bisa melihat sosok Papa yang dulu senantiasa menjaga dan mau melakukan apapun untuk kebahagiaannya, terjerumus masalah hingga harus dihukum. Ia ingin sang Papa selalu ada di sisinya.

Namun, kenyataan menuntut Mita untuk selalu berpikir rasional. Jika Papanya memang bersalah, maka pria itu harus dihukum sebagai bentuk pertanggungjawaban dan penebus dosa. Dan Mita harus menerima konsekuensi tersebut, tak peduli seberapa besar sayangnya pada sang Papa.

"Dari bukti yang kami temukan sejauh ini, kami meyakini bahwa Putra Adiswara tidak sepenuhnya bersalah dalam tragedi kebakaran itu. Tapi, tetap saja itu adalah kesimpulan yang terlalu dini. Apalagi dengan kondisi Putra Adiswara saat ini. Seandainya dia bisa segera sadar, maka akan lebih cepat untuk kami mengungkap kebenarannya."

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now