:: Bab XXXV ::

298 30 3
                                    

"Bos, ada kabar buruk! Semua mesin kita terbakar dan kita gagal meratakan lahan pemakaman itu!"

Arnold menggeram marah saat tahu apa yang anak buahnya sampaikan di telfon benar adanya. Pandangannya mengedar pada kekacauan di hadapannya. Semua mesin excavator yang harusnya mulai beroperasi hari ini, hangus terbakar. Meninggalkan komponen yang gosong dan mesin yang sudah tidak bisa digunakan.

"Kenapa bisa begini?!" teriaknya, tersulut emosi. Ia mencecar seluruh anak buahnya yang hanya bisa menundukkan kepala dalam-dalam. Tak ada dari mereka yang bisa menjelaskan.

"SIALAN!"

Arnold menendangi mesin excavator itu secara brutal. Melampiaskan amarahnya.

Semua rencananya gagal total. Padahal ia berniat merayu Putra untuk mempertahankan posisinya sebagai CEO Wara Construction dengan membuktikan bahwa ia bisa menyiapkan lahan yang sejak lama Putra inginkan untuk proyek besar mereka.

Terlepas adanya penolakan dari orang-orang yang anggota keluarganya dimakamkan di lahan tersebut, Arnold sudah tidak peduli. Toh, Putra sendiri tak begitu mengurusi jenazah-jenazah di makam itu yang merupakan korban tragedi kebakaran pabrik Wara Group 12 tahun yang lalu. Jadi, Arnold cukup percaya diri untuk menyiapkan sejumlah mesin excavator dan menyewa banyak pekerja untuk membersihkan lahan tersebut. Tapi, rencananya tidak berjalan mulus.

"SAYA TIDAK MAU TAHU! KITA HARUS BISA MENYIAPKAN LAHAN INI! POSISI SAYA YANG JADI TARUHANNYA, KALIAN TAHU?! BAJINGAN! DASAR TIDAK BECUS!"

Suara Arnold yang menggelegar tentu terdengar kemana-mana. Termasuk ke telinga seorang pria yang mengamatinya dari sebuah warung kecil seraya menghisap sebatang rokok.

Ada seringai di wajah pria itu. Menonton Arnold yang mencak-mencak sambil menghajar satu persatu anak buahnya yang lalai, layaknya menonton sketsa komedi yang menghibur.

Apalagi ditemani secangkir kopi hitam dan gorengan yang masih hangat. Paginya terasa sempurna.

Hampir habis, pria itu pun membuang putung rokoknya ke tanah dan menginjaknya hingga bara api-nya benar-benar mati. Ia merasa cukup kenyang dengan tontonannya tersebut sehingga ia kembali ke Lexus NX-nya yang terparkir di pinggir jalan. Sesaat setelah meninggalkan selembar uang 100 ribu di meja dan mengabaikan teriakan pemilik warung yang menyuruhnya menunggu kembalian.

Begitu ia masuk, pandangannya terjerat pada pantulan spion yang menampilkan 2 buah koper yang menduduki ruang kosong di bagasi. Ia terdiam sejenak, lantas melirik pada waktu yang ditunjukkan oleh head unit mobil.

Ada beberapa notifikasi yang tertimbun saat pria itu menyalakan kembali ponselnya. Menarik keningnya untuk mengkerut dalam.

Sasmita [7 panggilan tak terjawab]

...

Saat kelopak matanya terangkat, Mita langsung mengedarkan pandangan. Ia hampir ketakutan, mengira kejadian semalam kembali terulang dan ia telah dibawa pergi ke rumah penjahat itu. Padahal, ia hanya perlu waktu untuk membiasakan diri dengan kamar barunya sekarang.

Ia menghela napas begitu duduk dan menyadari dirinya bahkan tak sempat mengganti pakaian. Setelah Juan mengantarnya pulang dengan selamat dan sehat sentosa semalam, ia langsung beringsut ke kamar. Membaringkan tubuh yang rasanya amat sangat lelah.

Mita mengikuti kemana langkah membawanya pergi. Tahu-tahu, ia sudah berdiri di depan kamar Bram bersama hati kecil yang bertanya-tanya apakah pria itu sudah kembali atau belum.

Tok! Tok! Tok!

Tak ada jawaban. Kesunyian menjawab pertanyaan di dalam benaknya. Juga dengan sepatu Bram yang tidak ia temukan di rak sepatu.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now