:: Bab LVII ::

338 44 4
                                    

"Sial! Bagaimana dia bisa tahu tentang diskusi itu?!"

Sebuah meja kayu menjadi pelampiasan kemarahan Tio. Kaki meja tersebut seketika patah dan barang-barang yang tersimpan di atasnya pun berjatuhan.

"Apa dia akan melaporkanku?" gumamnya, bertanya pada kehampaan kamar motel yang ia huni. Sudah sejak kemarin ia merasa gelisah. Tidurnya tak pernah nyenyak dan makan pun terasa tidak enak.

Pribahasa 'senjata makan tuan' nampaknya tepat untuk disematkan di situasi Tio saat ini. Ia yang berniat memanfaatkan dendam Bram untuk menghancurkan Putra Adiswara karena sudah mengabaikannya begitu saja, justru berbalik diserang.

Arnold adalah penyebabnya. Pria itu memang berhasil ia tumbalkan. Namun, ia tak pernah memperkirakan bahwa Arnold bisa memiliki bukti sepenting itu. Suaranya terdengar jelas dalam rekaman tersebut. Mengelak pun rasanya percuma.

Pikiran Tio sudah amburadul. Ia tak tahu harus berlindung kemana sekarang. Kini, tak hanya Putra Adiswara dan Ashraf yang mungkin tengah memburunya. Tapi, Bram pasti akan terus mengawasinya agar ia bisa mempertanggungjawabkan semua yang sudah dirinya lakukan.

Bagaimanapun, yang Bram katakan benar. Celetukannya itu membawa petaka. Seandainya ia tidak memberi ide segila itu demi mendapatkan jabatan yang lebih bersinar, situasinya tidak akan merugikan seperti ini.

Sayangnya, saat ini tak ada waktu untuk Tio menyesali apa yang sudah terlalu lama terjadi. Terburu-buru, ia mengemasi seluruh barangnya. Setidaknya, ia harus pergi ke tempat yang tak akan bisa dijangkau oleh Putra Adiswara, Ashraf maupun Bram.

Tok! Tok! Tok!

Tio menghentikan aktivitasnya. Matanya memicing ke arah pintu, tepat dimana ketukan itu berasal.

Ia berusaha mengabaikan. Namun, ketukan itu tidak kunjung berhenti. Mendesak ia untuk segera membukanya.

Tio menggeram kesal. Ditinggalkannya koper yang masih acak-acakan itu dan segera menghampiri pintu.

Tangannya sudah menggenggam gagang pintu. Hanya perlu ia tekan ke bawah agar pintu itu bisa terbuka.

Namun, ada sesuatu yang baru teringat olehnya.

Tio yakin, tak ada yang tahu keberadaannya saat ini. Pun, motel ini berada di pinggiran kota, berdiri di antara kawasan prostitusi. Tempat yang rasanya tak mungkin disambangi oleh mantan direktur yang berpengaruh sepertinya.

Ketakutan seketika menyergap Tio. Secara perlahan, ia mendekatkan diri pada lubang pintu. Matanya yang memerah karena kurang tidur mengintip melalui celah tersebut. Ia perlu tahu siapa orang yang berhasil menemukan keberadaannya.

Melalui celah kecil itu, Tio hanya bisa menemukan seseorang dengan pakaian serba hitam berdiri di depan pintunya. Wajah orang itu tak bisa ia deteksi. Tak hanya karena pakaian yang tertutup terlalu rapat, namun, penerangan di koridor motel turut membuatnya kesulitan.

"S-siapa?!" tanya Tio, dengan suara gemetar. Sebagai respon, orang yang berdiri di depan pintunya itu mengangkat wajahnya.

Tak hanya wajah yang dia angkat. Melainkan tangan yang menggenggam pistol dengan peredam suara juga ia pamerkan.

Tio tentu saja terkejut. Namun, keberuntungan tidak memihak pada Tio yang ketakutan setengah mati. Sebab, orang itu sudah lebih dulu mendekatkan mulut pistolnya di pintu dan menarik pelatuknya, tepat sebelum Tio bisa menghindar.

Kini, pintu itu tidak hanya punya satu lubang. Namun, ketambahan satu lubang lagi. Dari lubang tambahan itu, sebuah peluru menembus ke dalam dan langsung mendarat tepat ke kepala Tio.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now