:: Bab XXVI ::

259 36 1
                                    

"Terima kasih, Rian."

Rian membalasnya dengan senyum hangat sebelum akhirnya membawa mobil tersebut menuju parkiran basement. Sementara Mita bergegas masuk ke dalam bangunan yang menjulang tinggi di hadapannya.

"Selamat pagi, Bu Mita."

Sapaan datang dari hampir semua orang yang berpapasan dengan Mita. Mita pun memasang senyum terbaiknya selagi membalas sapaan-sapaan itu.

Ketika sedang tenang-tenangnya menyiapkan diri untuk menyambut pekerjaan hari ini, Mita dikejutkan oleh kehadiran seseorang yang tahu-tahu sudah berjalan di sisinya. Namun, Mita berusaha untuk tidak terkecoh. Ia cukup berkonsentrasi dengan setiap langkahnya ketimbang mengindahkan eksistensi orang itu.

"Selamat pagi, Bu Mita, Pak Bram."

Mereka tak saling bicara. Sekedar berjalan bersama dan merelakan diri untuk jadi tontonan orang-orang yang seketika membelalak. Sesekali menjawab sapaan yang ditujukan untuk mereka.

Ada yang kelihatan terpesona. Ada yang kelihatan bertanya-tanya. Terlalu beragam reaksi yang diberikan orang-orang kepada mereka sebagai pasangan yang jadi hot topic beberapa waktu belakangan.

Langkah keduanya kompak berhenti di depan lift. Tidak lagi bersisian, terdapat jarak yang memisahkan. Mita berdiri di depan sehingga ia tak bisa melihat jelas apa yang tengah dilakukan oleh pria di belakangnya itu.

Tapi, setidaknya ia bisa memanfaatkan pantulan yang ada pada pintu lift untuk memperhatikan pria di belakangnya itu secara diam-diam. Dan yang berhasil Mita temukan adalah tatapan tajam yang mengarah pada dirinya.

Dada Mita seketika bergemuruh hebat. Intensitas debaran jantungnya meningkat drastis. Ia sadar ini reaksi yang terlalu berlebihan tapi Mita tak tahu bagaimana cara mengontrolnya agar kembali normal.

Tiba-tiba saja, ia tidak siap untuk satu lift dengan Bram. Menutupi perasaan aneh yang muncul di dalam dirinya, ia terus mengingat sikap menyebalkan Bram tempo hari.

Paling tidak, Mita bisa mengelabui hatinya. Bahwa ia tidak siap satu lift dengan Bram karena pada dasarnya ia membenci pria itu dan ingin menjaga jarak. Bukan karena hatinya yang seketika tidak karuan hanya karena pria itu memperhatikannya dari belakang.

Ting!

Lift yang kosong terbuka dan Mita masih bimbang. Haruskah ia masuk?

"Masuklah. Orang-orang mengantre di belakang kita."

Tanpa memberi aba-aba, Bram berbisik di telinganya. Mita baru akan menoleh tapi pria itu sudah lebih dulu mendorong pelan punggungnya agar segera masuk.

"Ayo, masuk. Lift-nya masih kosong." Mita yang didorong sampai pojok pun terdiam memandangi Bram. Dengan baik hati, pria itu menawarkan tempat bagi staff-staff yang kelihatan sungkan. Tentu saja karena keberadaan Mita di sana.

"I-iya. Masuk saja. Masih muat, kok, lift-nya," timpal Mita, pada akhirnya. Ia memepetkan dirinya sendiri ke dinding agar ada lebih banyak ruang untuk orang-orang yang ingin menggunakan lift.

"Permisi, ya, Bu, Pak."

"Iya, iya. Silahkan. Tidak perlu sungkan," sahut Mita dengan ramahnya.

Satu persatu orang masuk dan lift yang tadinya kosong melompong seketika menjadi padat. Menyesuaikan kapasitas, pintu lift pun akhirnya tertutup saat di rasa lift tersebut tidak bisa menampung lebih banyak orang.

"Bu Mita sama Pak Bram turun di lantai 2, kan, ya?" Salah seorang staff berniat membantu memencetkan tombol tujuan untuk Bram dan Mita yang terpojok di belakang.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now