:: Bab LXXXV ::

361 32 1
                                    

"Sasmita."

Bruk!

Mita segera menerjang tubuh pria itu. Memeluknya seerat mungkin seraya merapalkan syukur sebanyak-banyaknya. 

Air mata bercucuran seiring dengan hela napas kelegaan yang menguap dari sela-sela bibir. Ia menggenggam sisi samping baju rumah sakit yang pria itu kenakan dengan kencang, terlalu takut jika yang dilihatnya saat ini hanyalah imajinasinya belaka.

Di tengah penantian yang penuh kekhawatiran, sebuah telfon dari rumah sakit masuk ke dalam ponsel Mita. Mengabarkan bahwa Bram dilarikan ke rumah sakit karena ditemukan tak sadarkan diri di mobil. Cerita dari sang penelfon yang mengatakan kondisi Bram nampaknya tidak bisa diselamatkan karena ditemukan darah yang berceceran di baju dan kursinya, jelas membuat Mita kalang kabut. 

Alhasil, tanpa memikirkan apapun, Mita pergi ke rumah sakit yang menghubunginya. Ia bahkan tidak peduli pada dua sandal berbeda yang kini dirinya kenakan. Juga tidak urus pada tubuhnya yang hanya berbalut setelan baju tidur. Menerjang dinginnya angin malam bukanlah perkara yang bisa Mita khawatirkan di saat ia tak tahu apakah suaminya benar-benar tidak bisa diselamatkan atau informasi tadi hanyalah bualan.

"Kamu mengkhawatirkan saya?"

Bram tahu pertanyaannya terlalu konyol. Bahkan tanpa bertanya pun harusnya ia bisa tahu bagaimana ketakutan sang istri melalui isak tangisnya. Namun, ia malah menjadikan ketakutan Mita sebagai bahan ledekan. 

Seraya membalas pelukan Mita, ia terkekeh ringan. Beberapa kali tangannya menepuk lembut punggung bergetar wanita itu, berusaha membuatnya tenang. 

"Saya baik-baik saja," ujarnya, seraya mengajak wanita itu untuk duduk di kursi terdekat. Ia memberikan selimut baru yang diberikan oleh perawat untuk melapisi pakaian sang istri yang dinilai terlalu tipis.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Bram? Kenapa kamu sampai tidak sadarkan diri?" 

Melepas pelukannya dari tubuh Bram, dengan isak tangis yang sudah mereda, Mita bertanya. Ia menilik keadaan sang suami dengan sebaik-baiknya, tak melewatkan sedikitpun. Wajah pucat pria itu membuatnya menghela napas panjang. 

Bram meraih tangan Mita yang menangkup wajahnya lantas menciumnya beberapa kali. Ditemani senyum, ia mulai bercerita, "Saya... tadi bertemu Suryono. Supirnya Harrish Harun, yang pernah disuruh Ashraf untuk membuntuti kamu ke pabrik Wara Group waktu itu."

"Anda sudah jauh-jauh datang kemari. Setidaknya, minumlah dulu kopi-nya, Pak."

Tawaran yang Suryono berikan memancing picingan tajam penuh kecurigaan dari Bram. Ia ingin berpikiran positif namun mengingat rekam jejak Suryono yang begitu patuh pada Ashraf membuatnya kesulitan untuk menerima tawaran tersebut mentah-mentah.

Pada akhirnya, Bram hanya kembali menduduki kursinya. Namun, ia tak sedikitpun menyentuh cangkir kopinya. 

Setidaknya sampai Suryono mengeluarkan sebuah kertas berisi tulisan tangan yang dibuat terburu-buru. Bram melirik skeptis, membaca setiap kata yang tertuang di atas kertas tersebut perlahan tapi pasti.

Kopi itu saya campur dengan racun. Pak Ashraf ingin saya membunuh anda.

Wajah Suryono mengerut takut. Pandangan gelisahnya menyisir tiap sudut seolah tengah dimata-matai. Sorot dari matanya yang bergetar mencerminkan permohonan begitu ia beradu pandang dengan Bram. 

Bram berpikir cepat. Mempertimbangkan banyak hal selagi ia mengartikan maksud tatapan Suryono kepadanya. 

Tepat di menit ke-5, Bram membulatkan tekad. Ia meraih keputusan final dengan langkah mengambil cangkir kopi itu dan meneguknya sedikit. 

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang