:: Bab LIII ::

360 43 0
                                    

Anggi baru selesai merapikan dapur. Sampah-sampah bekas masakannya sudah menumpuk di sudut ruangan.

"Mit, Mama buang sampah dulu, ya, ke bawah."

"Loh, bukannya biasanya ada petugas yang ambil ke sini, ya, Mah?" Mita bertanya heran seraya menuang air dari teko. Dilihatnya Anggi yang mengedikan bahu, "Harusnya begitu. Tapi, hari ini belum ada yang datang."

"Ya udah. Mita aja, ya, yang buang."

Mita dengan cepat mengikat plastik sampah tersebut. Namun, indera penciumannya yang belakangan menjadi sensitif membuatnya seketika mual saat mencium aroma sampah yang mulai busuk.

Anggi pun segera menariknya mundur, "Udah. Mama aja, Mit. Kamu istirahat aja sana."

Mita ingin menolak, seandainya gejolak di perutnya tidak semakin menjadi. Dengan terpaksa, makan malam yang baru saja masuk ke perutnya harus ia keluarkan. Tergopoh-gopoh ia berlari ke kamar mandi diikuti tatapan khawatir Anggi.

"Warna!" panggilnya pada sang putra bungsu. Pemuda itu lantas menghampirinya, "Kenapa, Mah?"

"Tolong bantuin Kakak kamu itu, muntah lagi dia di kamar mandi. Kasih minyak angin sama siapin teh hangat, ya. Mama mau buang sampah dulu."

Warna dengan sigap menuruti permintannya. Sedangkan ia buru-buru membawa sampah itu keluar agar aromanya tidak semakin mengganggu Mita.

Setelah membuang sampah, Anggi harus memutari gedung karena tempat pembuangan sampahnya ada di bagian belakang. Begitu hampir sampai di pintu masuk lobby, langkahnya terhenti. Itu karena matanya yang menangkap eksistensi seseorang yang nampak tak asing.

Anggi pun mendekat. Dan dugaannya tak salah.

"Bramasta?"

Bram yang sedang merenung sambil bersandar di mobilnya menoleh. Matanya sempat membesar karena keberadaannya ketahuan oleh sang mertua.

"Ada apa ke sini? Kenapa tidak langsung ke atas? Kamu mau jemput Mita?"

Cecaran pertanyaan Anggi dibalas Bram dengan berdeham. Sejurus kemudian, pria itu menggeleng singkat. Responnya sukses membuat Anggi mengernyit heran.

"Lalu... ada apa kamu ke sini kalau bukan untuk jemput Mita?"

"Sasmita... baik-baik saja, kan, Bu?" Bram bertanya lirih. Ia sendiri tak percaya bahwa pertanyaan itu baru saja keluar dari bibirnya. Sedangkan di satu sisi Bram tidak bisa menahan diri lebih lama.

Anggi tidak langsung menjawab. Dalam diam, ia menilik raut wajah Bram untuk menemukan apa yang pria itu sembunyikan.

"Kalian sedang ada masalah?"

Gelagapan Bram dibuatnya. Pria itu membalas tatapan menyelidik Anggi dengan pupil yang sedikit membesar.

"Itu..."

"Mita tidak baik-baik saja," tutur Anggi kemudian. Merasa gemas karena Bram yang berulang kali membuka dan menutup bibir seolah ragu untuk berbicara.

"Sejak kemarin, dia tidak enak badan. Barusan juga muntah lagi."

Bram hampir berlari ke dalam. Penuturan Anggi mengingatkannya pada kondisi Mita yang terakhir kali ia lihat. Wajahnya mengkerut cemas.

Tapi, sesuatu tak kasat mata seolah menahannya. Yaitu perasaan bersalah. Mau tidak mau, Bram harus bertahan di posisinya. Meski matanya sudah belingsatan ke arah jendela penthouse Anggi yang terletak di lantai paling atas.

"Sebenarnya ada apa dengan kalian?" Anggi kembali bertanya. Dirinya menghela napas seiring dengan langkah yang diambil untuk mendekati Bram. Menuntut penjelasan.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Место, где живут истории. Откройте их для себя