:: Bab XXXVIII ::

285 33 5
                                    

Sudah hampir 1 jam lebih Rian berkeliling, mengekori sang atasan dengan banyak paper bag yang dijinjing oleh kedua tangannya. Kini, mereka memasuki salah satu toko peralatan kerajinan yang membuat Rian semakin keheranan.

"Bu Mita mau beli apalagi, Bu? Tumben sekali Bu Mita belanja sebanyak ini," tanyanya, sekaligus memberi kode bahwa dirinya mulai tak sanggup untuk melanjutkan perjalanan mereka.

Mita tersenyum simpul dengan mata yang tertuju pada sudut peralatan sulam. Ia mengambil beberapa gulungan benang wol yang warnanya begitu cantik beserta jarum dan peralatan lain.

"Ini yang terakhir," jawab gadis itu lantas beringsut menuju kasir.

Pembelian peralatan menyulam itu menjadi penutup sesi belanja Mita. Usai Rian mengambil mobilnya dari parkiran, ia pun masuk dan duduk dengan perasaan puas sambil melihat sederet paper bag yang berjejer di sampingnya.

Kemudian, ia beralih pada Rian, memberi pria itu secarik kertas.

"Kita ke alamat ini, ya."

...

Uap harum dari ayam rica-rica yang mulai matang menguasai seluruh bagian dapur. Ira mengaduk masakannya untuk yang terakhir sebelum mematikan kompor dan memindahkan satu persatu ayam ke atas piring saji.

Ting! Nong!

Kesibukan Ira menyiapkan makan malam pun terganggu karena bunyi bel yang memaksanya untuk membuka pintu. Jika itu Adam atau Nesa, harusnya mereka bisa langsung masuk tanpa perlu membunyikan bel. Rasa penasaran pun mengikuti setiap langkah yang dirinya urai.

"Bunda."

Ira terkelu selama beberapa saat. Tamu yang menyambangi rumahnya adalah sosok yang tak pernah ia duga hingga rasanya wajar kalau ia tak bisa berkata-kata.

"Saya sudah takut kalau saya salah rumah tadi. Bunda, apa kabar?"

"Sasmita..."

...

"Bunda... lagi masak, ya?"

Mita menyeletuk ketika indera penciumannya mendeteksi aroma wangi yang membangkitkan cacing-cacing di dalam perutnya. Ia bangkit, berniat menghampiri Ira yang melipir ke dapur.

Di sepanjang langkah, matanya menyusuri setiap sudut rumah Ira yang terasa hangat dengan ornamen vintage yang memikat. Ini kali pertama ia menginjakkan kaki di rumah mertuanya dan rasanya ia bisa betah bila harus berlama-lama di sana.

"Iya. Mau cicip?"

Mita menerima tawaran Ira dengan antusias. Dengan bantuan wanita itu, ia menyesap bumbu ayam rica-rica yang ternyata sangat lezat. Lidahnya terkesima akan bumbu kaya akan rempah yang diracik Ira. Kedua ibu jarinya spontan terangkat.

"Kamu suka?"

Gadis itu mengangguk cepat, walau sambil berdesis, "Sangat. Walaupun... agak pedas buat lidah saya, Bun."

"Kalau begitu, lain kali akan Bunda buatkan yang tidak begitu pedas. Karena, biasanya Nesa suka yang pedas. Dia itu 'Ratu'-nya makanan pedas."

"Oh, ya? Sepertinya, saya harus belajar makan makanan pedas dari Vanesa. Semoga saya tidak langsung tepar di hari pertama belajar."

Ira tertawa geli. Sisi menyenangkan Mita menjadi hiburan tersendiri untuknya.

"Kamu ini sama seperti Erie, ya. Dia selalu bilang mau belajar makanan pedas dengan Nesa tapi berakhir sakit perut seharian—"

Kegembiraan yang terpancar dari Ira seketika hilang saat ia sadar akan satu hal. Kalimat itu tak jadi ia teruskan ketika ia melihat garis kebingungan di raut wajah Mita.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now