:: Bab I ::

1.4K 72 4
                                    

"Apa kamu benar-benar mau setega itu, Mas?!"

"Keluar dari rumah ini dan bawa barang-barang kalian! Cepat!"

"MAS! KAMU SALAH PAHAM! AKU GAK PERNAH SELINGKUH SEPERTI YANG PEREMPUAN ITU BILANG!"

"KAMU UDAH NGEHANCURIN KEPERCAYAAN SAYA! DAN SAYA GAK MAU DENGERIN ALASAN APAPUN DARI KAMU!"

Jerit tangis dari bocah laki-laki di sudut ruangan mewarnai percek-cokan dua orang dewasa di depannya.

Koper dan barang-barang dilempar sembarangan. Vas bunga dari kaca telah menjadi serpihan dan tercecer kemana-mana. Aksi saling dorong mendorong pun tidak terelakkan. Hingga tidak lama, pintu yang didobrak menginterupsi mereka.

Bruk!

"STOP, PAH! STOP!"

Derap bergema dari sepatu lusuh itu mendekat. Tubuh remaja perempuan yang agak berisi itu berdiri di tengah-tengah. Melindungi Ibunya yang tidak berhenti terisak. Mencegah Ayahnya agar tidak lagi mendorong wanita di belakangnya.

Pria yang terengah-engah itu menatap tajam. Dia menghunuskan sorot matanya yang mengalahkan samurai. Namun nyatanya, hal tersebut tidak cukup ampuh untuk mengintimidasi gadis di hadapannya.

Alih-alih menciut takut seperti Ibunya, gadis itu mengeraskan wajah. Ia tidak segan melotot, membalas tatapan Ayahnya. Sudah tidak ada lagi kompromi yang bisa ia berikan. Kali ini, Ayahnya itu sudah benar-benar keterlaluan.

"Aku gak suka Papa ngedorong-dorong Mama kayak gini!"

"Kalau dia mau mendengar apa yang saya bilang, saya juga gak akan kasar kayak gini! Wanita murahan di belakang kamu itu, udah gak pantas ada di rumah ini!"

"PAPA!"

"APA?! BERANI KAMU TERIAK KE SAYA?!

Dada gadis itu naik turun, "YA! SAYA BERANI KARENA ANDA SUDAH MENGHINA MAMA SAYA! ISTRI ANDA SENDIRI!"

"DIA BUKAN LAGI ISTRI SAYA SEKARANG! KAMI SUDAH BERCERAI KARENA KAMU DAN ANAK ITU BUKANLAH ANAK KANDUNG SAYA! JADI, KALIAN SILAHKAN PERGI DARI RUMAH INI!"

Gadis itu pun tercengung. Suaranya terhambat oleh batu besar yang berada di tengah-tengah tenggorokan. Dinding kaca mulai merambat, melapisi bola matanya yang bergetar. Sementara Ibunya telah merosot jatuh, seraya memukul-mukul dada yang sesak.

"Harusnya kamu jangan percaya kata perempuan itu, Mas... Mita dan Warna itu anak kandung kamu... Mereka darah daging kamu!"

"Halah! Jangan berkelit lagi kamu! Jangan harap saya bisa percaya! Hasil tes DNA itu jauh lebih bisa dipercaya ketimbang omongan kamu!"

Mita, gadis berbalut seragam sekolahnya itu, merasa dunianya ambruk. Tidak ada lagi amarah yang tertanam di sorot tajamnya, melainkan perasaan tertekan. Hatinya hancur berantakan, terngiang-ngiang oleh kata yang barusan ia dengar.

Ditatapnya pria yang selama ini ia hormati dan telah menyayanginya itu, dengan bibir terkatup rapat. Bahkan, ia tidak lagi melawan saat pria itu mendorong dirinya hingga menabrak meja di sudut ruangan. Kepalanya otomatis terantuk sudut meja yang tajam. Menggoreskan luka hingga darah segar mengalir melalui pelipisnya.

"MITA!"

Anggi, alias Ibu dari Mita, tergopoh-gopoh menghampiri putri sulungnya yang bersandar lemas. Sekuat tenaga ia memapah tubuh Mita yang agak berisi untuk bangkit. Tidak lupa menggendong pula adik Mita, Warna, yang menangis menjerit-jerit.

Kakinya yang tidak sengaja menginjak serpihan kaca tajam pun, mendekat pada Putra, orang yang kini telah sah menjadi mantan suaminya. Meski bekas air mata masih terlihat jelas di atas pipi, Anggi tidak mau lagi terlihat menyedihkan. Seluruh wajahnya mengeras, menatap Putra dengan berbagai perasaan yang campur aduk di dalam dada yang sesak.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang