:: Bab LVI ::

408 47 8
                                    

Dengan kertas bercecer di hadapannya, Bram termenung. Ia menopang dagu dengan jemarinya selagi ia mengingat-ingat informasi yang berhasil dia dapatkan.

"Kalian tahu bahwa kebakaran pabrik 12 tahun yang lalu itu, semata-mata bukan karena human error biasa, kan? Katakan... yang sejujurnya kalau kalian mau selamat."

Bram dengan ancamannya sukses membuat Ivan dan Darto menciut di tempatnya masing-masing. Kegelisahan mengurung keduanya, dilanda kebimbangan dan tidak tahu harus menjawab apa.

"Itu..." Ivan menggumam. Ia melirik ragu pada Darto, seolah menyampaikan sebuah kode hingga pria dengan badan berisi itu mengangguk pasrah. Bram setia mengamati dan dengan sabar menanti jawaban.

"Kami... diberitahu bahwa kebakaran itu memang direncanakan, Pak."

Tatapan Bram semakin tajam. Tidak ada yang sadar bahwa tangannya mengepal erat hingga urat-urat tangannya tampak dengan jelas.

"Pabrik sengaja dibakar agar perusahaan tidak perlu susah payah memecat buruh di sana dan lebih mudah untuk perataan lahan."

Darto memberanikan diri untuk menimpali, "Tapi, setelah pabrik itu sudah dihancurkan, rute proyeknya tiba-tiba diubah karena katanya lahannya bermasalah. Terlebih, saat itu, buruh sedang gencar memperjuangkan hak mereka dan aksi itu menarik perhatian masyarakat. Jadi, karena tidak mau citra perusahaan buruk, kami diminta untuk melanjutkan proyek dengan rute yang berbeda dari rancangan awal."

"Siapa yang meminta kalian melakukannya? Putra Adiswara?" Bram langsung melempar pertanyaan inti. Ia mewanti-wanti, "Katakan yang sejujurnya. Jangan coba-coba menutupi segala sesuatunya dari saya."

Ivan dan Darto meneguk liur dengan ketakutan. Seperti sebelumnya, keduanya melempar tatapan satu sama lain seakan terlalu ragu untuk membeberkan semuanya.

"Tapi... apa Pak Bram bisa berjanji untuk melindungi kami?" tanya Ivan kemudian. Pertanyaannya itu membuat Bram memicing sebentar, sebelum akhirnya mengangguk cepat.

"Kalian tidak perlu khawatir. Saya akan memastikan tidak ada yang tahu kalau kalian yang memberikan informasi ini ke saya."

Ivan lantas menyikut Darto, menyerahkan kesempatan kepada pria dengan badan berisi itu.

Darto menarik napas pendek. Dengan mencicit, sebuah nama disebutkan olehnya.

"Bukan Tuan Putra tapi, Pak Ashraf, Pak Bram."

"Jadi, apa yang ingin Pak Bram tanyakan kepada kami?"

Bram menatap satu persatu orang yang duduk mengelilinginya. Ia merapikan ceceran kertasnya secara asal lantas membuka rapat dadakan dan rahasia itu.

"Saya ingin tanya, terkait proyek rekonstruksi lahan panti asuhan yang kemudian berubah jadi rest area dan jalan tol itu, siapa yang memberikan instruksi?"

Seorang pria berkepala plontos langsung menjawab, tanpa butuh waktu lama, "Atas perintah Tuan Putra tapi disampaikan melalui Pak Ashraf, Pak."

Pria dengan rambut cepaknya pun membenarkan tanpa diminta, "Pak Ashraf juga yang mengeluarkan kami dari proyek rekonstruksi itu setelah bangunannya tiba-tiba ambruk dan hancur. Kemudian menggantikannya dengan manajer proyek lain, yang sekarang jadi kepala divisi keuangan dan pengembangan itu."

"Benar, Pak Bram," timpal pria berkacamata. "Katanya, kami sudah membuat kesalahan besar karena rekontruksi panti asuhan itu gagal. Maka dari itu kami digantikan."

Bram mendengarkan jawaban-jawaban itu dan menyerapnya ke dalam otak. Ia meneliti raut seluruh pria di hadapannya, mencari kebohongan di sana. Namun, mereka tidak terlihat sedang menyembunyikan sesuatu.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt