:: Bab IV ::

638 54 1
                                    

Van hitam itu berhenti di mulut gang sempit nan kumuh. Seseorang didorong keluar dengan kasar dari dalam kendaraan tersebut. Lantas, van hitam itu pun kembali melaju. Meninggalkan kepulan asap yang tertiup angin lalu menghilang.

Bram sempat meratapi kepergian van tersebut, meski tak lama. Tatapannya itu memiliki banyak makna. Begitu pula hempasan napas panjang yang keluar dari mulutnya.

Lantas, ia pun memasuki gang sempit di hadapannya itu seraya melepaskan atribut di tubuhnya. Rompi anti peluru, peluru cadangan, dan sarung pistol yang berada di saku celana. Sehingga yang tersisa hanyalah kaus tanpa lengan yang melilit tubuh atletisnya beserta celana kargo yang tampak kotor oleh debu.

Bram menyusuri gang tersebut seakan sudah hapal dengan tiap sudutnya. Jalanan gang yang berkelok lantas mengantarkan Bram pada sebuah pabrik besar yang berdiri di atas lahan seluas 80 hektar.

Malam yang sudah larut membawa hawa mencekam di sekitarnya. Namun, Bram tidak sepayah itu untuk merasa ketakutan.

Alih-alih langsung membuka gerbang, Bram memilih untuk mampir ke sebuah toilet berukuran kecil yang diperuntukkan untuk satpam pabrik. Di dalam toilet, ia menjatuhkan seluruh atribut yang sejak tadi ditentengnya secara sembarangan kemudian bersandar pada wastafel.

Bram menumpukkan kedua tangannya pada pinggiran wastafel selagi ia bercermin. Ditatapnya pantulan dirinya di cermin itu sambil mengingat kegagalannya tadi.

"Saya adalah orang yang ingin memperjuangkan keadilan untuk 67 korban tidak bersalah dari tragedi ledakan pabrik anda 12 tahun yang lalu."

"Kejadian... pabrik itu?"

Bram tidak menjawab apapun. Tak membenarkan, tak juga menyalahkan. Ia membiarkan Putra Adiswara menemukan jawabannya sendiri.

Pria paruh baya itu sempat terdiam. Tak lama berselang, tawa yang tidak seharusnya terdengar justru keluar dari mulutnya. Memantik amarah di dalam lubuk hati Bram.

"Apalagi yang kamu inginkan? Masalah itu sudah lama selesai. Kalau kamu sampai melakukan hal seperti tadi hanya untuk meminta ganti rugi, kamu salah, anak muda." Dengan pongah-nya, Putra menasihati.

Rahang Bram mengeras. Tatapannya semakin tajam melihat bagaimana reaksi Putra.

"Kejadian itu... belum selesai. Sama sekali." Bram memberikan penekanan pada kata-katanya.

"Apanya yang belum selesai?" balas Putra. "Manajemen perusahaan sudah meminta maaf. Polisi pun menyatakan kalau kejadian itu disebabkan oleh korsleting listrik, human error, atau apalah itu. Itu semua sudah selesai. Saya harap kamu bisa mengerti."

"JELAS-JELAS MEREKA MEMILIKI LUKA TEMBAK DAN ITU BUKAN KARENA HUMAN ERROR ATAUPUN KORSLETING LISTRIK BIASA! KEJADIAN ITU DIRENCANAKAN! PEMBUNUHAN BERENCANA YANG SUDAH MERENGGUT BANYAK NYAWA TIDAK BERSALAH, PUTRA ADISWARA!" Bram tak bisa menahan emosinya lebih lama.

Tapi, kemarahannya itu hanya dianggap angin lalu. Putra justru mengabaikannya lalu beranjak dari sofa yang pria paruh baya itu duduki, "Apapun yang kamu katakan, tidak akan bisa merubah keadaan. Lagipula, sudah 12 tahun berlalu sejak kejadian itu. Harusnya kamu berteriak seperti ini di depan polisi 12 tahun yang lalu. Bukan sekarang."

"Kamu beruntung karena saya masih berbaik hati untuk melepaskan kamu dan teman-teman kamu itu. Kalau kamu masih tidak terima, silahkan konfirmasi kepada polisi. Mereka yang melakukan penyelidikan dan menemukan bukti-buktinya."

"Lalu... bagaimana dengan keluarga korban yang ditinggalkan?! Perusahaan anda belum pernah membayarkan sepeserpun ganti rugi untuk mereka!"

Langkah Putra terhenti. Ia mengurungkan niat untuk mengambil nampan berisi cangkir dan seteko teh hangat yang ada di meja kerjanya. Senyum miring itu terlukis di wajahnya.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now