:: Bab LXXII ::

386 49 17
                                    

"Maaf, saya terlambat."

Adam, Dana, dan tentunya Bram sama-sama mengangkat wajah. Menatap sumber suara yang mendekat ke meja mereka.

Berbeda dengan Bram yang langsung mempersilahkan pria itu untuk duduk, Adam dan Dana tidak bisa menghapus kebingungan dari sorot mata mereka tatkala memperhatikan gerak-gerik pria yang asing namun sebenarnya tidak cukup asing itu.

"Mungkin, seharusnya saya memperkenalkan diri terlebih dahulu? Saya Juan—"

"Tidak perlu. Mereka sudah tahu tentang kamu sebelumnya."

Karena pernyataan Bram itu, Juan pun mengurungkan niatnya. Senyum kikuknya terpasang di antara sudut bibir. Yang dibalas oleh dua pria di hadapannya dengan senyum kecil yang sama.

"Seperti yang sudah saya ceritakan semalam, Ashraf berusaha mengancam Felix Dewananda karena dia sudah tahu rencana kita. Sekarang, kita benar-benar tidak bisa menyepelekan Ashraf. Fakta bahwa dia memanipulasi kematian Arnold Wijayanto dan bahkan mengancam Felix Dewananda sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa dia ingin menghalangi kita. Jika dugaan saya benar, maka dia juga adalah dalang di balik kematian Tio Mantovani dan penjaga pabrik itu."

"Semua itu dilakukannya karena dia tidak mau kita mengungkapkan kebenaran di balik tragedi kebakaran 12 tahun lalu," timpal Adam.

Dana menyusul dengan sebuah pertanyaan, "Tapi, melihat usahanya mencegah kita, bukankah itu berarti dia masih mengabdi kepada Putra Adiswara? Karena kita tahu bahwa Putra Adiswara adalah pengatur kebakaran itu. Lalu, kenapa dia malah membelot ke Cheline Beatrix?"

"Itu karena dia yang menghasut Om Putra untuk melakukannya," sahut Juan, tak ragu untuk terlibat dalam diskusi tersebut meski ia belum mengenal dua pria lain di sana selain Bram.

Alisnya bertaut ragu atas pemikirannya sendiri. Namun, bibirnya terlalu gatal, memaksanya untuk mengeluarkan isi pikirannya tersebut.

"Atau bahkan, bisa jadi memang dia yang mengatur semuanya dan menjebak Om Putra agar Om Putra yang disalahkan."

Adam seketika memekik, "Apa?! Anda yakin itu?"

Bram menoleh sesaat pada Juan sehingga mereka bisa membalas tatapan satu sama lain. Pria itu menghela napas setelahnya, "Felix Dewananda yang mengatakannya sendiri. Kita tidak boleh memungkiri kemungkinan apapun, meski terdengar rancu dan meragukan."

"Mengingat bahwa Ashraf juga yang mengatur pemecatan tidak hormat terhadap Papa saya, saya setuju dengan kemungkinan itu." Dana pun menyampaikan pendapatnya.

Sementara Adam yang kelihatan masih bingung lantas menyimpulkan dan memastikannya kepada Bram, "Kalau begitu, apa itu berarti kita akan mengganti sasaran kita, Mas?"

Bram mengangguk santai, "Kamu ingat, kan, apa yang dia bilang kepada Harrish Harun? Dia juga mengincar kamu, Dam. Usahanya untuk menyingkirkan orang-orang di balik tragedi itu dan bahkan orang yang tertarik pada tragedi itu, tidak bisa kita biarkan. Kita perlu mewaspadainya."

"Lalu, bagaimana dengan Putra Adiswara? Kita akan melepasnya begitu saja? Bagaimanapun, dia juga bersalah."

"Saya tahu. Tapi, tidak ada yang bisa kita lakukan juga dengan kondisinya sekarang," jawab Bram. Adam kelihatan tidak senang dengan jawabannya itu. Dia mendecak, terdengar sebal.

Dana menepuk bahu Adam, "Apa yang dikatakan Pak Bram ada benarnya, Mas Adam. Setelah kondisi Putra Adiswara membaik, kita tetap akan mengadilinya. Namun, untuk sekarang, Ashraf Emran yang paling berbahaya dan perlu kita waspadai."

Adam tak punya pilihan kecuali mengikuti kata-kata Bram yang didukung oleh Dana. Ia pun diam sejenak, mendengarkan arahan dari Bram.

"Kita sudah mendapatkan bukti bahwa Ashraf yang memanipulasi kematian Arnold Wijayanto sebagai kasus bunuh diri. Kita juga tahu bahwa dia yang menghasut Putra Adiswara untuk membiarkan kebakaran itu terjadi serta membiarkan lahan pabrik Wara Group terbengkalai karena lahan itu dibeli secara ilegal dengan bantuan Ayahnya. Setelah ini, kita perlu menyelidiki keterkaitannya terhadap kematian Tio Mantovani dan Tarma."

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum