:: Bab LIX ::

330 44 2
                                    

Berbekal informasi Dana, Bram secara mendadak mengadakan pertemuan dengan pria itu dan juga Adam. Mereka memilih apartemen pribadi Bram sebagai lokasi pertemuan.

"Dia menghindari kita karena kita sudah tahu yang sebenarnya mengenai peran dia di balik tragedi itu," ujar Bram, mengungkap latar belakang mengapa Tio diam-diam pergi dari tempat persembunyian yang ia sediakan. Justru kabur ke motel terpencil di pinggir kota yang keamanannya tidak dapat dipastikan. Dan pada akhirnya, pria itu harus berakhir mengenaskan seperti ini.

Adam pun menggeleng, tak habis pikir. "Tapi, siapa yang berhasil mengetahui keberadaannya dan membunuhnya? Dari kita bahkan gak ada yang tahu kalau dia kabur, Mas."

"Saat interogasi kemarin, Pak Ashraf sempat mendesak saya untuk memberitahu informan dari 'Proyek Jalan Tikus' itu, Pak."

"Pak Dana gak memberitahunya, kan?" tanya Adam, yang kelihatan cemas.

Dana pun menjawab dengan cepat, "Tentu saja. Bagaimanapun, Pak Tio adalah informan yang harus dijaga keamanan dan privasinya."

"Apa mungkin Ashraf yang berhasil menemukannya?" gumam Bram, membuat kedua pria di hadapannya langsung memusatkan perhatian kepadanya.

Dia pun menambahkan selagi otaknya terus bekerja menyusun rangkaian puzzle yang masih teracak. "Karena kalau Pak Tio mengungkapkan siapa saja yang terlibat di balik diskusi itu, maka Putra Adiswara dan Wara Group akan hancur."

"Tapi, apakah dia se-tega itu sampai harus menghilangkan nyawa orang lain, Mas?" Adam kelihatan tak percaya. Ia tahu Putra Adiswara jahat namun tak tahu bahwa kejahatan seseorang bisa menular ke orang lain yang paling sering berhubungan dengannya.

"Sebagai tangan kanan Putra Adiswara, dia bertanggung jawab memastikan tidak ada yang bisa menghambat keberhasilan Wara Group."

"Kalau begitu, apa mungkin dia juga yang membunuh Pak Arnold, Pak Bram?" terka Dana, yang dibalas Bram dengan tatapan tajam penuh makna.

"Bisa jadi."

Adam berusaha mengingat sesuatu, sebelum akhirnya ikut menduga-duga, "Maka, pembunuhan penjaga pabrik yang Mas Bram ceritakan kemarin... bisa jadi dalangnya adalah dia juga. Bukan begitu?"

Bram menghela napas. Meski mereka bertiga sangat yakin dengan segala dugaan yang ada, namun, tak ada yang bisa mereka lakukan jika buktinya saja tidak ada. Mengandalkan prasangka pribadi jelas tak akan ada artinya di dalam laporan tuntutan.

Bram pun meninggalkan kursinya dan mendekati papan kaca besar di ruang rahasianya itu. Tangannya memindahkan foto Ashraf yang tadinya bertengger di sudut terpojok papan, kini bersebelahan dengan foto Putra.

Semakin banyak tanda tanya mencuat keluar dari dalam kepala Bram. Jika memang Ashraf yang melakukan pembunuhan saksi-saksi penting itu, maka dia menunjukkan tanggung jawabnya untuk menjaga nama baik Putra dan Wara Group.

Namun di saat bersamaan, pria itu juga tengah membantu Cheline untuk menggapai ambisinya mengambil alih kekuasaan Putra dari tangan Mita. Rasanya tak mungkin Ashraf berpihak ke dua sisi sekaligus, kecuali ada keuntungan yang bisa ia dapatkan.

Masih segar di ingatan Bram soal Putra yang ingin menjauhkan Cheline dari segala kekuasaannya. Itu berarti bahwa dukungan yang diberikan Ashraf untuk Cheline bukan atas perintah Putra. Entah apa yang mendasari pria berkacamata itu untuk membantu Cheline, namun, Bram yakin ada sesuatu yang tidak beres pada pria itu.

Rumit. Dan Bram hanya bisa memejamkan mata untuk menahan pening yang mulai mendera kepalanya.

"Pak Tio dan Pak Arnold sudah meninggal. Kita tidak punya saksi lagi, Mas." Adam yang mulai pesimis memecah keheningan. Di sampingnya, Dana menghela napas panjang. Setidaknya sampai ia teringat satu hal.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now