:: Bab XXXVI ::

320 38 13
                                    

Langit sudah gelap dan Mita memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya besok. Ia bergegas keluar dari ruangan karena tak mau Rian menunggu lebih lama.

Kemacetan sudah lumayan mereda saat mobil Mita memasuki jalan raya. Ia menikmati keheningan yang ada sambil memandangi lalu lalang kendaraan dan orang-orang di luar sana.

Mita menyandarkan tubuhnya. Mengisi ulang paru-parunya yang terasa sesak. Mengingat pertengkarannya dengan Bram tadi pagi, membuat hatinya kembali meradang.

Ia berusaha menerima kalau Bram mau mengabaikannya, bahkan tidak mencintainya. Tapi, dituduh selingkuh bukan sesuatu yang bisa ia terima dengan mudah.

Mita tidak se-menjijikkan itu. Meski pernikahan ini tidak didasari cinta, Mita tak cukup berani untuk mempermainkan kesakralannya dengan main hati bersama pria lain.

Bram bahkan tidak meminta maaf atas perkataannya yang menyakitkan. Seolah-olah, dia memang sengaja ingin menyakitinya.

Mita masih mengingat bagaimana entengnya mulut pria itu saat mengatakan kalau ada skandal antara ia dengan Juan, maka keuntungan akan menghampiri Bram. Ambisi Bram untuk menghancurkan sang Papa benar-benar besar dan Mita selalu takut tiap mengingat fakta tersebut.

"Ini kita langsung pulang atau mau mampir-mampir dulu, Bu?"

Pertanyaan Rian langsung direspon Mita dengan cepat. Gadis itu menggeleng lemah lantas menjawab lirih, "Pulang saja."

...

Lagi-lagi, kehampaan yang sama langsung merengkuh Mita begitu ia melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal rumah. Oh, tidak. Bahkan sebelum ia membuka pintu, hawa kesepian itu sudah lebih dulu membuatnya tak yakin untuk masuk.

Kalau saja bukan karena lelah yang mendera tubuhnya, mungkin Mita akan lebih memilih pergi dari sana. Kembali ke penthouse Mamanya untuk tidur bersama Anggi dan Warna di satu kasur yang sama bisa saja Mita pilih, jika ia tak memikirkan beribu pertanyaan yang akan keluar dari bibir Mama dan Adiknya.

Tentu saja Bram belum pulang. Sepatu pria itu belum nangkring di rak sepatu. Yang lebih mengecewakannya adalah, Bram bahkan tidak meminum kopi yang Mita buat ataupun memakan semangkuk bubur yang ia sisihkan untuk pria itu sarapan. Berakhir menjadi dingin, Mita pun membuang semuanya langsung ke tong sampah.

From : Bramasta

Saya tidak akan pulang malam ini.

Satu notifikasi berbunyi dari ponselnya membuat Mita tidak jadi beranjak. Ia menduduki salah satu kursi di ruang makan, untuk meresapi isi pesan itu dalam diam.

Pandangannya pun beralih pada cincin yang melingkari jari manisnya. Mita mengusapnya perlahan, merasakan sesuatu yang tajam tengah menusuk ulu hatinya tiap kali permukaan jarinya menyentuh simbol perkawinannya itu.

Mita tertawa sumbang saat ingat akan peringatan yang ia berikan pada Bram tadi pagi.

Sekarang, Mita bahkan tak mengerti dengan perasaannya sendiri. Ia memperingati pria itu seolah dia adalah lawan yang lemah. Padahal, Mita sadar bahwa dirinya yang kelewat lemah di situasi ini.

...

Jika di siang hari taman itu diisi oleh orang-orang yang ingin berekreasi atau piknik, maka ketika malam tiba taman itu menjadi sepi. Hanya ada segelintir orang yang datang, itu pun tidak untuk waktu yang lama.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن