:: Bab LXXXI ::

307 29 2
                                    

"Anda harus mati, Nona. Dengan begitu, 'rumah' yang saya jaga selama ini dapat kembali ke tangan saya."

Mita hampir kehilangan cara untuk bisa bernapas. Ia bahkan berpikir ini akan jadi detik terakhir ia hidup. Namun, semua itu terpatahkan oleh guncangan hebat pada tubuh seiring dengan suara keras yang berulang kali memanggil namanya.

"Sasmita, bangun! Kamu cuma bermimpi!"

Setelah telinganya menangkap panggilan itu, ajaibnya Mita bisa kembali bernapas. Tak ada lagi tangan yang mencekik kesempatannya untuk tetap hidup.

Begitu membuka mata, Mita menghirup oksigen secara rakus. Ada getaran yang jelas pada bola matanya saat ia menjelajah setiap sisi ruangan tempatnya berada. Hingga ia bisa menemukan wajah Bram, air mata pun tak bisa ia bendung. Ia kelewat takut.

"B-bram..."

Bram lekas memeluknya dengan erat. Menenangkan Mita yang semakin gemetar di dalam dekapannya yang hangat.

"Ashraf mau membunuh saya, Bram..."

Hati Bram seperti disayat mendengar isak tangis Mita yang sarat akan ketakutan. Ia tahu bunga tidur itu datang karena Mita terlalu lelah dan banyak pikiran. Fakta bahwa Mita pingsan di pinggir danau ketika sedang merenung sendirian pun menguatkan pendapatnya itu.

"Tenanglah. Tidak ada yang akan membunuh kamu, Mita. Termasuk Ashraf sekalipun," sahut Bram pelan, berusaha memberi ketenangan. Ia bisa merasakan cengkraman Mita yang semakin erat di bagian bawah kemejanya.

Seiring waktu berlalu, isak tangis Mita pun mereda. Dia berhasil tenang dan akhirnya kembali terlelap. Walau Bram harus mengorbankan tangannya sebagai bantalan dan dadanya sebagai sandaran agar Mita bisa tidur dengan nyenyak.

Sebenarnya, Bram tak ingin meninggalkan Mita terlebih ia tahu kondisi istrinya yang jelas tidak baik-baik saja. Namun, ketukan yang berasal dari pintu memaksanya untuk keluar.

"Mas, Ashraf mengirim pesan."

...

From: +62 813-9900-xxxx (anonymous)

Green Lake Garden. Pukul 23.59. Datang sendiri.

Pesan yang masuk ke dalam ponsel Nesa seketika menarik kewaspadaan orang-orang di ruang tamu itu. Gadis itu tak lekas menyambar ponselnya karena menunggu arahan dari para pria di sekitarnya.

Jika mengingat bagaimana ia bisa berakhir bergabung bersama mereka, Nesa merasa lebih bersyukur. Setidaknya, situasi menegangkan ini tidak dilaluinya seorang diri.

"Apa masih ada lagi yang belum datang?"

"Ah, ya. Saya lupa ngasih tahu, Mas Bram. Nesa minta untuk gabung bersama kita malam ini." Sembari menyendok lasagna, Adam menjelaskan. Mita pun jadi tak punya keraguan untuk membuka pintu.

Benar saja. Sosok Nesa berdiri di hadapannya. Masih dengan tampilan yang sama seperti yang tadi siang ia lihat. Gadis itu pasti langsung ke tempatnya tanpa melipir ke rumah untuk sekedar ganti pakaian.

"Hai, Nes. Masuklah."

"Terima kasih."

Adam menggeser bokongnya, memberi tempat kosong untuk Nesa duduki kendati ia tahu sofa di ruang tamu penthouse itu terbilang besar dan luas. Nesa pun memilih untuk duduk di samping pria itu dan membiarkan perhatian semua orang tertuju padanya.

"Ada sesuatu yang sepertinya harus kalian ketahui. Ini tentang Ashraf."

Tanpa menunggu seseorang untuk mempertanyakan maksud kehadirannya, Nesa sudah lebih dulu menerangkan. Dugaannya tepat sasaran ketika Bram, Adam, Dana, termasuk Mita yang baru saja bergabung di sofa itu saling menatap satu sama lain.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now