:: Bab VII ::

378 45 2
                                    

Bram terjaga semalaman. Bibirnya terus menghisap lintingan tembakau di tangannya hingga ia menghabiskan satu bungkus rokok tanpa tersisa. Kata-kata Putra semalam terus berputar di dalam kepalanya dan mencegahnya untuk beristirahat.

Matahari pun mulai terbit dari ufuk timur, membelai bumi dengan sinarnya yang menghangatkan. Bram menyaksikan pemandangan itu sambil termenung. Menyesap rokoknya yang terakhir sebelum membuangnya di atas asbak yang dipenuhi putung menggunung.

Tak lama, ponselnya berdering. Mau tidak mau membuatnya harus beranjak dari posisinya saat ini.

“Halo?” sapanya pada sang penelepon tanpa identitas. Sebuah nomor yang asing untuknya.

“Halo, selamat pagi. Benar ini dengan Bapak Bramasta Rahardian?”

“Ya, betul dengan saya sendiri. Dengan siapa saya berbicara?”

“Saya Bambang dari Kepolisian Metro Kota. Atas laporan yang diajukan oleh saudara Putra Adiswara terkait penyerangan dan perencanaan pembunuhan, saya telah menangkap beberapa orang tersangka dan mereka berkaitan dengan anda. Maka dari itu, saya memerlukan kehadiran anda di kantor kami untuk mendapatkan kesaksian dari anda. Apakah anda bisa datang ke sini, Pak?”

Bram tidak menyadari bahwa ponsel yang tengah digunakannya itu hampir hancur karena tangannya yang mencengkram dengan sangat kuat. Gejolak amarah di dalam dirinya semakin tidak terkendali. Hari bahkan belum benar-benar dimulai namun Putra Adiswara sudah memancing perkara sepagi ini.

‘Sialan! Putra Adiswara, pria itu benar-benar bajingan!’

...

Pondasi raksasa yang menjulang tinggi di hadapannya tak cukup ampuh untuk mengintimidasi Bram. Ketika harusnya ia panik dan kelabakan, yang terjadi nyatanya tidaklah demikian.

Amarah memang menguasai dirinya. Namun, Bram sangat pandai menutupi hal tersebut dengan ketenangan dari tiap hembusan napasnya. Langkah membawanya masuk tanpa tergesa.

"Anda bisa langsung menuju ke lantai 3 untuk menemui saya."

Tombol bertuliskan angka 3 ditekan oleh Bram hingga membuat pintu besi itu tertutup. Dinding di sekelilingnya memantulkan ekspresi wajahnya yang datar seperti biasa. Akan tetapi, berbagai hal yang berkecamuk di dalam pikirannya dapat terlihat jelas dari tatapan matanya yang begitu tajam.

Ting!

Pintu lift terbuka. Bram sudah sampai di tempat tujuannya tanpa membutuhkan waktu lama.

Hanya saja, ia tidak segera bergerak keluar. Justru termangu untuk beberapa saat begitu menemukan ada sosok jangkung yang berdiri di hadapannya sekarang.

Pria yang berdiri di hadapan Bram itu membetulkan letak kacamatanya sesaat sebelum akhirnya bersuara, "Tuan Putra sudah menunggu anda. Mari, saya antar."

Ashraf memimpin jalan. Tak sedikitpun menoleh untuk memastikan apakah Bram mengekorinya atau tidak. Karena pada nyatanya, Bram tetap akan mengikuti setiap langkahnya meski terpaksa.

Ashraf membawa Bram ke sebuah ruangan yang jendelanya tertutup tirai bambu. Terdapat sebuah meja dengan seperangkat komputer dan alat kontrol CCTV di atasnya. Hampir setengah dari sisi kiri ruangan itu dipasang kaca cermin, dimana memungkinkan orang di dalam ruangan itu melihat ke ruangan sebelah sementara yang di sana tidak bisa melihat apapun kecuali bayangannya sendiri.

Singkatnya, itu ruang kontrol interogasi dan ruangan yang berada tepat di sebelahnya adalah ruang interogasi.

Di dalam ruangan itu, sudah ada Putra yang tengah terdiam dan membiarkan pria lain yang duduk di sebrangnya terus mengoceh. Pemantik api yang berada di tangan kanannya menjadi hiburan tersendiri bagi Putra untuk membunuh kejenuhan.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now