:: Bab LXXIX ::

311 35 3
                                    

"LEPAS! SAYA TIDAK MAU IKUT KALIAN! LEPAS!"

Johan hanya bisa meratapi kondisi memprihatinkan sang sepupu dari kejauhan. Bagaimana Cheline meronta di balik kukungan tali pengikat pada pergelangan tangan dan kakinya memang tampak menyedihkan. Namun, bila Johan menghampiri, wanita itu bisa jadi lebih histeris nantinya.

Ia berbalik dan mengeluarkan ponsel untuk kemudian menghubungi sebuah nomor. Menanti dengan sabar hingga akhirnya terdengar sebuah suara dari sambungan tersebut.

"Tawaranmu masih berlaku, kan?" Johan bertanya serius. Terdengar sang lawan bicara yang berdehem singkat sebagai jawabannya.

"Saya mau menerima tawaran itu."

Tanpa menunggu lawan bicaranya kembali menyahut, Johan segera memutus sambungan telfon. Ia menghela napas panjang, seraya mengeluarkan sebatang rokok dari kantung celananya. Sementara matanya mengikuti kepergian ambulans dengan tulisan 'Rumah Sakit Jiwa Harapan' di bumper belakangnya.

Johan baru keluar dari lapas usai menengok Cheline, ketika sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Pesan dari nomor tak dikenal itu mengarahkannya untuk datang ke sebuah rumah kosong yang posisinya tidak jauh dari sana. Ia sudah mengacuhkannya namun pesan kedua datang mengantarkan informasi siapa pengirim pesan itu sebenarnya.

Keraguan sempat merangkap Johan begitu melihat bangunan di hadapannya. Memastikan berulang kali pada aplikasi maps yang ia gunakan sebagai penunjuk arah, ia memang sudah sampai di tempat tujuan.

Menepis perasaan tak nyaman, Johan memutuskan untuk masuk ke dalam. Pintu yang sudah reyot menciptakan bunyi berderit yang berisik ketika ia dorong. Johan memperhatikan sekitar, sebelum akhirnya tertarik pada pantulan cahaya remang yang datang dari sebuah ruangan.

"Tidak begitu sulit untuk sampai ke sini, kan?"

Sebuah pertanyaan menyambut kehadiran Johan. Ia terdiam sejenak, untuk memasang mata awas pada orang yang ada di hadapannya. Menilik situasi sebagai persiapan jika sesuatu yang tak diinginkan terjadi, Johan tak berhenti menjelajah ruangan tersebut melalui lirikan tajam.

"Apa anda baru saja menjenguk Nyonya Cheline?"

"Bagaimana denganmu, Ashraf? Kalian bahkan sudah tidur bersama tapi kamu tidak kelihatan berusaha untuk memastikannya baik-baik saja di sana," sindir Johan, lalu menarik sebuah kursi kayu yang sudah berdebu untuk duduk di atasnya. Padahal, sang punya rumah belum mempersilahkan.

Ashraf hanya mendengus dan menyeringai. Tak mempermasalahkan sindiran Johan untuknya. "Bagaimana saya bisa mengurus Nyonya Cheline jika posisi saya sendiri terancam? Menyelamatkan diri sendiri adalah prioritas utama saya."

"Jadi, kamu benar-benar akan meninggalkan sepupu saya begitu saja? Ketika dia sudah tidak berguna untukmu?"

Ashraf bangkit dari duduk dan beralih ke meja panjang di hadapannya. Ia mengambil satu gelas kemudian mengisinya dengan anggur merah yang selalu ia tenteng.

Seraya menyerahkan gelas itu kepada sang tamu, ia mengedikan bahu, "Bisa jadi? Lagipula, Nyonya Cheline terlalu cerewet, gegabah dan penakut. Baru tertangkap seperti ini saja dia tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Untuk apa saya repot-repot membantunya keluar?"

Jawaban itu tentu membuat geram. Bagaimanapun, Cheline adalah sepupu Johan dan wajar bila ia merasa tidak terima.

Pria itu pun menepis gelas yang Ashraf sodorkan hingga jatuh ke lantai. Isi di dalamnya seketika tumpah dan membasahi lantai.

"Basa-basi denganmu membuat saya muak," ujar Johan, berpamitan pergi. Namun, langkahnya dicegat oleh balasan dari Ashraf.

"Anda tidak menginginkan posisi dan harta anda kembali? Melupakan tujuan awal anda bergabung dengan Nyonya Cheline begitu saja?"

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now