:: Bab XLIX ::

293 41 1
                                    

Kendati baru terlelap 3 jam yang lalu, Bram tetap bangun seperti biasa. Yaitu saat jarum pendek mengarah ke angka 7.

Ia mematut penampilannya di depan cermin. Tangannya sudah bersiap untuk merangkai simpul dasi. Tapi, ia tidak segera melakukannya begitu menyadari sesuatu.

Bram fokus pada area lehernya, lantas meraba dengan tangan. Kedua alisnya pun bertaut bingung, yang lama kelamaan berubah panik.

'Kalungku.'

Pria itu berlari keluar meskipun penampilannya masih berantakan. Ingatan membawanya untuk mencari di sekitar ruang keluarga, tempat terakhir ia berada untuk berdebat dengan Mita semalam.

Sayangnya, Bram tidak menemukan apapun di sana. Matanya sudah jelalatan mencari di setiap sudut, hingga ke tempat-tempat yang mustahil untuk dijamah. Tetap saja, kalungnya tidak berhasil ia temukan.

Di tengah pencariannya, terdengar suara pintu terbuka. Berasal dari lantai atas. Itu jelas Mita.

Bram pun bergerak menghampiri sang istri. Segala kemungkinan harus ia coba. Termasuk kemungkinan bahwa Mita mengambil kalungnya dan bisa jadi sudah melihat isi liontinnya.

"Sasmita, kamu—"

"Selamat pagi, Pak Bramasta."

Bram seketika terdiam. Sementara seorang wanita paruh baya dengan seragam pelayan serta rambut beruban yang ter-cepol rapi itu membungkuk padanya. Di tangan wanita itu ada keranjang berisi sprei dan sarung bantal.

"Oh, maaf. Saya belum memperkenalkan diri. Saya Inem. Saya salah satu pelayan di rumah Tuan Putra yang diminta Nona Mita untuk membantu membersihkan rumah ini hari ini."

Sepertinya, wanita itu menyadari tatapan bertanya-tanya Bram. Sehingga Bram tak perlu banyak bertanya. Ia langsung mencari keberadaan Mita.

"Nona Mita sudah berangkat dari tadi, Pak."

"Sepagi ini?" Bram mengernyit heran.

Inem mengangguk, "Iya, Pak. Katanya ada meeting pagi di kantor."

Tak biasanya Mita berangkat lebih pagi darinya. Bram terbiasa menjadi seseorang yang selalu pergi lebih dulu, meninggalkan Mita sendirian.

Lagipula, Mita juga biasanya akan mengabarinya tentang segala hal yang dia lakukan. Berangkat ke kantor, meeting di luar, makan siang bersama kolega, atau bahkan se-sederhana belanja di supermarket dan mencoba resep baru. Bram lekas membuka ponselnya, barangkali Mita memang mengabari tapi terlewatkan olehnya.

Namun, bar notifikasinya kosong. Tak ada pemberitahuan pesan ataupun panggilan apapun. Mita tidak memberitahunya sama sekali.

"Apa Mita menitipkan sesuatu?"

Berusaha mengabaikan kekecewaannya, Bram langsung pada intinya. Dia harap-harap cemas.

"Nitip... apa, ya, Pak? Nona Mita tidak menitipkan apapun ke saya untuk diberikan ke Pak Bramasta."

Bram ingin kembali bertanya karena ia tidak bisa langsung percaya. Tapi, tatapan polos wanita paruh baya itu membuat Bram mengurungkan niatnya.

Pada akhirnya, Bram kembali ke kamarnya dengan langkah gontai. Kekesalan terpahat jelas di gurat wajahnya.

Kalung liontin itu adalah satu-satunya peninggalan berharga dari Erie yang Bram miliki sekarang. Kalau kalung itu hilang, bagaimana caranya untuk selalu mengingat Erie?

...

Begitu penampilannya rapi, Bram keluar dari kamar. Mau bagaimanapun, ia harus tetap pergi ke kantor. Hilangnya kalung liontin itu tak boleh menjadi penghalang untuknya.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now