:: Bab LXXVIII ::

449 52 11
                                    

Dokter menyibak tirai begitu pemeriksaan selesai. Dia tersenyum singkat pada seorang gadis yang sejak tadi menunggu cemas sambil mengigit kuku.

Mita menghela napas panjang. Tak peduli pada lebam di bagian siku karena terbentur, ia masih bisa bersyukur karena setidaknya kandungannya baik-baik saja. Nyeri yang sempat dirasakannya pada bagian perut nyatanya bukanlah masalah serius.

"Sasmita."

Mendengar namanya dipanggil, Mita menoleh. Ia lekas mengumbar senyum sesaat setelah memindai keadaan gadis yang beringsut mendekat padanya itu.

"Syukurlah kalau kamu baik-baik saja, Nes."

"Apa kata dokter tadi?" Nesa langsung bertanya. Menyebabkan Mita mengerjap tak percaya karena nada lembut yang gadis itu gunakan.

"Semua baik-baik saja. Tidak ada masalah. Hanya lebam di siku karena terbentur."

"B-bagaimana dengan kandunganmu?"

Mita berusaha untuk mendudukkan dirinya. Nesa hendak membantu namun ia dapat membuktikan bahwa ia bisa melakukannya sendiri.

Seraya mengusap perutnya, Mita menjawab santai, "Tidak apa-apa, kok. Entah bagaimana, kandungan saya terbilang cukup kuat. Sepertinya, dia tahu kalau saya hendak menolong Tantenya, makannya dia bisa bertahan dengan baik."

Menyingkirkan gengsi, Nesa menghela napas lega secara terang-terangan. Tak lagi menggigiti kukunya sampai patah, ia bergerak menyentuh perut Mita secara perlahan. Tidak begitu lama, karena setelahnya ia segera  menyembunyikan tangan di balik tubuh.

"Meski saya tahu kamu sulit menerima anak ini, tapi, saya harap kamu bisa menjadi Tante yang baik untuknya, Nesa," harap Mita, terdengar tulus. Nesa tak memberikan respon berarti. Hanya saja, sorot matanya menyiratkan banyak arti.

"Kenapa... kamu menolongku?"

Setelah lama diam, Nesa pun mengajukan pertanyaan yang sejak tadi dipendamnya. Mita yang tak langsung menjawab, membuatnya mengernyit penasaran.

"Memangnya saya perlu alasan spesifik ketika saya melihat dengan mata kepala saya sendiri kamu hampir mati tertimpa papan reklame? Kalau begitu ceritanya, kamu mungkin sudah tergeletak di sana sementara saya masih menimbang-nimbang atas alasan apa saya harus menolong kamu."

Jawaban panjang Mita menusuk ulu hati Nesa. Bukan jawaban yang spesial namun dari situ, Nesa tahu bahwa gadis di hadapannya masih memiliki hati nurani kendati dirinya sudah bersikap kasar selama ini.

Mita mengusap lengan Nesa. Ia mengerti bahwa kejadian barusan pasti masih terasa mengejutkan.

"Kamu harus lebih berhati-hati dan waspada dengan sekitar kamu, Nes. Mau sekacau apapun pikiran kamu saat itu," pesannya. Mita tak bermaksud memanfaatkan kesempatan ini untuk cari muka pada Nesa. Namun, ia murni mencemaskan gadis itu dan ingin Nesa bisa menjaga diri dengan baik.

Baru memeriksa jam, Mita tersadar bahwa ia terlalu lama di luar. Sementara ia ingat ada rapat lain yang mesti dihadirinya di kantor.

Ia pun bergerak turun dari ranjang lalu menyambar blazer beserta tas. Namun, belum sempat sampai ke ambang pintu, Nesa berbalik dan memanggilnya dengan suara pelan.

"Kenapa, Nes?" sahut Mita, pendek. Dilihatnya Nesa yang tampak ragu dan bimbang. Sebelum akhirnya mengucapkan satu kata yang tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Mita bahwa gadis itu akan mengatakannya.

"Terima kasih... Sasmita."

...

Mita kembali ke kantor dengan suasana hati yang sedikit membaik. Menyingkirkan sesaat kekhawatiran akan situasi yang bisa saja membahayakan sebab Ashraf belum tertangkap, ia menikmati secercah kebahagiaan karena ucapan terima kasih dari Nesa.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now