:: Bab XLVI ::

334 51 6
                                    

Pemakaman diadakan malam itu juga. Meski ia pernah begitu berkuasa, Arnold dimakamkan dengan prosesi sederhana mengingat statusnya sebagai seorang tahanan.

Sangat disayangkan. Istri dan kedua putri kandungnya bahkan tidak menghadiri pemakamannya. Satu-satunya yang meringkuk di depan gundukan tanah itu hanyalah anak angkatnya.

"Mikael."

Pemuda itu tidak menoleh barang sedikitpun. Tak mempedulikan siapa yang datang.

"Saya yang terakhir menemui Papa kamu, sebelum dia meninggal."

Penjelasan itu berhasil membuat Mikael melunturkan hatinya yang keras. Ia spontan bangkit dan berhadapan dengan pria berstel-an kemeja putih dan jas hitam polos.

Kedua mata Mikael membelalak. "Kamu...? Kamu yang di hotel—"

"Benar. Saya yang menginterogasi kamu di hotel waktu itu."

Bram tidak terlihat takut atau gugup ketika Mikael menatapnya dengan tajam. Pemuda itu menggeram dan Bram tetap tidak terganggu karenanya.

"Untuk apa kamu menemui Papa saya?! Kamu pasti disuruh Putra Adiswara, kan?! Kamu disuruh bajingan itu untuk menekan Papa saya sampai dia bunuh diri?! Iya, kan?!" Mikael berteriak marah. Suara kencangnya berusaha melawan derasnya hujan.

Sebuah bogem mentah hampir ia layangkan ke atas pipi Bram. Tanpa tahu siapa yang sedang ia lawan.

Bram dengan mudah menghindar, lantas meraih kepalan tangan Mikael dalam sekali tangkap. "Ayo, kita bicara baik-baik."

"Saya tidak mau memperlakukan orang yang menyebabkan Papa saya mati dengan baik!"

Mikael tak pantang menyerah. Ia kembali mendekat pada Bram, masih dengan tujuan yang sama. Menghajarnya, hingga mati kalau perlu.

Tapi, mengulang kejadian yang sebelumnya, Bram selalu punya waktu yang tepat untuk menghindar. Bahkan ia berhasil mendorong Mikael hingga pemuda itu terjungkal jatuh. Menguncinya segera dengan cara menduduki bagian perutnya. Bram tak cukup peduli kalau kini bajunya menjadi kotor karena percikan tanah merah yang basah.

"Saya memang bekerja untuk Putra Adiswara, tapi saya bukan kacung suruhannya," jelas Bram, sambil menahan Mikael yang tak berhenti meronta. Hujan yang tak kunjung mereda tidak lantas membuat Mikael jadi lemah.

Ketika Bram menambahkan 1 kalimat lagi, barulah Mikael berangsur-angsur tenang. Raut wajahnya berubah.

"Saya ada di pihak kamu. Papa kamu bilang, kamu menyimpan bukti penting mengenai Putra Adiswara."

"Lalu, tentang tragedi itu sendiri... apa yang sebenarnya terjadi?"

Arnold menarik napas panjang. Seakan ceritanya setelah ini adalah sesuatu yang terasa berat untuk dikatakan. Dan mungkin bisa mengejutkan semua orang.

"Tragedi itu... berkaitan dengan proyek jalan tikus yang saat ini sedang diusut. Kalau kamu menggunakan kasus proyek ini sebagai awalan untuk mengusut semuanya, itu adalah langkah yang tepat."

Baik Dana maupun Bram saling mengernyit. Mereka berusaha memahami setiap kata yang terlontar dari mulut Arnold.

"Kalian tahu bahwa Putra Adiswara orang yang sangat berambisi. Dia akan melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Bahkan jika itu berarti dia harus mengorbankan nyawa orang lain, dia akan melakukannya tanpa pikir panjang."

Arnold menggosok jari jemarinya satu sama lain. Gelagatnya menunjukkan keresahan. Raut wajahnya menggambarkan apa yang tengah ia bayangkan.

"Dan dia memutuskan untuk mengorbankan nyawa buruh-buruh pabrik itu, untuk melancarkan proyek jalan tikus tersebut."

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang