:: Bab XXX ::

315 30 2
                                    

Keresahan mendera ruang kerja Putra. Ashraf yang harusnya bisa menikmati hari liburnya, terpaksa merelakannya dengan tergopoh-gopoh menyambangi kediaman sang atasan untuk mengantarkan kabar tak mengenakan.

Begitu videonya habis, Putra menggebrak mejanya dengan napas yang memburu. Kebahagiaannya ternyata tidak bisa bertahan lama. Baru kemarin ia melepas tawa sukacita dan pagi ini sudah dibuat marah oleh sebuah artikel yang menyeret perusahaannya.

"Saat ini, kata kunci 'Wara Group', 'Wara Construction' dan 'proyek jalan tikus' menjadi yang paling banyak dicari di internet, Tuan. Untuk meredamnya, saya akan memerintahkan media yang bekerjasama dengan kita untuk menerbitkan artikel yang bisa mengecoh perhatian masyarakat. Buzzer yang kita punya juga akan dikerahkan untuk menggiring opini positif di media sosial."

"Memang itu yang harus kamu lakukan! Selain itu, cari tahu siapa dia! Periksa setiap orang yang memiliki kemungkinan untuk tahu tentang proyek gagal itu! Pastikan kita menangkapnya sebelum kasus ini tersebar kemana-mana!" titahnya pada Ashraf.

Ashraf menurutinya. Pria berkacamata itu mulai sibuk dengan ponselnya sembari keluar dari ruang kerja Putra.

Sementara itu, Putra mengamati video yang ditampilkan oleh layar komputernya dengan tatapan yang menusuk. Seraya menerka-nerka siapa orang yang dengan lancangnya membeberkan rahasia kelam dari salah satu anak perusahaan miliknya, Wara Construction.

Amarah yang menguasai dirinya menyebabkan Putra kalut. Kepalanya mulai terasa pusing karena terlalu banyak hal yang ia pikirkan. Hal tersebut lantas berpengaruh pada kerja jantung yang membuatnya merasakan nyeri di bagian dada.

Penyakitnya kambuh.

"Sialan," umpat Putra. Sekarang jelas bukan waktu yang tepat untuk kondisi tubuhnya menjadi drop seperti ini.

Kewalahan menahan sakit, Putra tetap berusaha berjalan menuju kabinet dimana ia menyimpan obat-obatan. Seraya terus meremas dadanya sendiri, ia mengacak-acak seluruh rak lantas bergegas membuka salah satu botol berisi pil.

Dia menenggak pil tersebut begitu saja, bahkan tanpa bantuan air sedikitpun. Mencari jalan paling cepat untuk meredakan nyeri di dadanya yang tidak karuan.

Putra bahkan tak membaca label botol obat tersebut karena tergesa-gesa. Ia sudah tak memikirkan fakta bahwasannya pil itu berbeda dari pil yang sudah diresepkan oleh dokter. Pria itu telah terkecoh oleh kemasannya yang sama persis.

...

Anggi dan Warna sudah menyiapkan diri untuk beradaptasi dengan suasana rumah yang akan menjadi lebih sepi tanpa kehadiran Mita. Namun, di jam 12 tepat ketika matahari sedang terik-teriknya, tahu-tahu Mita sudah sampai di depan pintu penthouse mereka.

Gadis itu tidak sendirian. Melainkan bersama Rian yang begitu kewalahan membawa banyak paper bag dan kotak hadiah.

"Surprise!" pekik gadis itu, sumringah sekali. Dia pun menyodorkan kue ulang tahun dengan lilin menyala di tangannya kepada sang Mama.

"Selamat ulang tahun, Mama!"

...

"Selamat ulang tahun, kami ucapkan..."

Nyanyian itu menggema, terdengar cukup meriah walau hanya dinyanyikan oleh 4 orang. Begitu lagu selesai, tepukan tangan yang nyaring menyusul kemudian.

"Selamat ulang tahun, Mama. Maaf, ya, karena kita baru bisa ngerayainnya sekarang." Hadiah pertama yang Mita berikan kepada Anggi adalah pelukan hangat. Hujan kecupan turut membasahi pipi wanita itu.

"Terima kasih, sayang," balas Anggi, mencium kening sang putri sulung dengan penuh ketulusan. Warna yang melihatnya pun jadi ikut-ikutan. Dia bergegas memeluk Anggi tepat setelah Mita melepaskan pelukan dari Mama mereka.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now