:: Bab XLI ::

351 36 9
                                    

Sinar matahari yang menembus tirai memaksa Bram untuk membuka mata. Pening seketika menyerang kepalanya, membuatnya tak sengaja mengerang kesakitan.

"Kenapa? Ada yang sakit?"

Suara yang menyelinap ke gendang telinganya itu mendorong Bram untuk membuka mata sepenuhnya. Pemandangan yang ia temukan pertama adalah siluet seorang perempuan yang membelakangi asal cahaya. Sehingga Bram cukup kesulitan untuk melihat wajahnya.

Hanya saja, satu yang berhasil Bram kenali adalah suara lembutnya yang terdengar familiar. Suara lembut yang berhasil membangunkan seluruh kerinduan yang tertahan di lubuk hati terdalam.

Terbawa oleh perasaan yang menyiksa itu, Bram mengangkat tangannya. Meletakkannya di wajah orang itu lantas memberi usapan hangat.

"Kamu di sini?" tanyanya.

Dilihatnya perempuan tersebut mengangguk. Bram pun tak bisa menahan senyumnya untuk mengembang hingga akhirnya ia bangkit dan menarik perempuan itu untuk masuk ke dalam dekapannya.

Begitu erat kedua lengannya merengkuh perempuan itu. Menumpahkan hasrat kerinduan yang mendalam.

Terlebih ketika ia mencium aroma parfum bunga lily yang sangat candu. Bram menjejalkan wajahnya di ceruk leher perempuan itu.

"Aku merindukanmu... sangat."

Bola mata Mita bergerak gelisah, penuh tanda tanya. Berbeda dengan respon tubuhnya yang hanya bisa mematung, tak punya cukup energi untuk melepaskan diri dari pelukan Bram. Dadanya berdebar hebat dan ia kelewat lemas.

"B-bram... kamu masih mabuk, ya?" Pertanyaan bodoh itu terlontar begitu saja.

Tapi, Bram menjawabnya dengan mengeratkan pelukannya. Hingga Mita merasa cukup sesak.

"B-bram, pelukanmu terlalu kencang."

"Sebentar lagi..." pinta Bram, yang tengah menikmati setiap detiknya untuk merasakan kehangatan dari tubuh yang didekapnya itu.

"B-bram..."

"Apa kamu tidak merindukan aku, Erie?"

Mita merasakan hentakan kencang di dadanya saat nama asing itu disebutkan. Ia tak tahu mengapa hatinya terasa sakit meski ia mengerti bahwa Bram tengah meracau.

Saking sakit hatinya, ia sampai punya kekuatan untuk mendorong Bram. Pria itu pun terjungkal ke kasur. Mita memanfaatkan kesempatan tersebut untuk bangkit, menjauh dari sang suami.

Mustahil bila Bram tak terkejut. Dorongan itu membuat seluruh nyawanya kembali utuh. Sehingga ia bisa menyadari bahwa apa yang dilakukannya barusan adalah kesalahan.

"Mita...?"

Mita bergeming. Ia tak mengindahkan panggilan Bram. Tak juga membantu Bram memahami keadaan mereka sekarang.

Kedua tungkai Mita membawanya keluar dari kamar pria itu. Meninggalkan pintu yang tak sengaja terbanting. Derap langkahnya menyusuri tangga, menuju kamarnya sendiri.

Mita menyentuh dada kirinya, tepat dimana tadinya muncul debaran yang menggebu-gebu. Namun, semuanya sirna saat Bram menyebutkan sebuah nama yang sama dengan yang pernah Ira ucapkan.

Hati kecilnya mempertanyakan, 'Siapa... Erie?'

...

Butuh hampir seharian untuk Mita menunggu suasana hatinya membaik. Kalaupun tidak kunjung membaik, maka dia harus memaksakan diri karena ada agenda penting yang tak bisa ia tunda hanya karena mementingkan perasaannya sendiri. 

Mita lantas memberanikan diri untuk keluar dari kamar. Seraya mengawasi situasi di lantai 1, derap langkahnya yang menuruni tangga tak berbunyi sama sekali. Ia berusaha melangkah setenang mungkin, tak mau membuat keributan sedikit pun.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now