:: Bab V ::

577 53 12
                                    

Mita meninggalkan Hyain Hotel, tempatnya dipermalukan secara tidak langsung itu dengan langkah gontai. Beberapa kali ia berbalik. Berusaha mencari pria yang mengembalikan dompetnya tadi. Sayangnya dia sudah tidak terlihat lagi.

Seketika, rasa penasaran membuncah di dalam diri Mita. Ia ingin tahu ada hubungan apa pria itu dengan Papanya. Sampai harus menyerang rumah seorang Putra Adiswara demi uang sejumlah 4 miliar, pasti bukan perkara yang bisa dianggap enteng.

Tapi, kenapa jumlahnya harus sama dengan jumlah harta warisan hak-nya?

Pria itu bukan anak Papanya dari wanita lain yang dijanjikan harta warisan seperti dirinya juga, kan?

'Gak. Gak mungkin. Satu-satunya wanita yang merebut Papa cuma Cheline. Jadi, cowok tadi bukan anak Papa juga,' jawab hati kecil Mita kepada dirinya sendiri yang kebingungan setengah mati.

...

"Kanker yang diderita Bu Anggi memang masih stadium II. Namun, saya menyarankan untuk dilakukan operasi secepatnya agar kankernya tidak segera menyebar. Maka dari itu, saya harap Mbak Mita bisa segera melunasi pembayaran supaya kami bisa memberi tindakakan lanjutan. Ini juga demi kebaikan Bu Anggi, semoga Mbak Mita tidak salah paham dengan maksud saya."

Mita hanya manggut-manggut. Ia sudah tak tahu harus memberi respon apa kecuali mengiyakan seluruh kata dokter yang ia tahu itu juga demi kebaikan Mamanya.

Dengan pikiran yang kosong, Mita berjalan keluar dari ruangan dokter. Warna yang sejak tadi menunggu di balik pintu, langsung menghampiri. Pemuda itu terlihat tenang, tapi sorot matanya jelas menunjukkan bahwa dia ingin tahu kondisi sang Mama.

Mita menatap adiknya dalam diam. Butuh beberapa waktu hingga ia bisa menyunggingkan senyum, walau dipaksakan. “Mama pasti baik-baik aja, Na.”

“Terus kapan Mama bisa dioperasi, Kak?”

Alih-alih langsung menjawab, gadis itu kembali diam. Masalah baru akan muncul jika ia bilang operasi Mamanya baru bisa dilaksanakan setelah seluruh biaya sudah sepenuhnya lunas. Karena Warna pasti akan nekat membantunya mencari biaya, entah dengan cara apapun itu. Sedangkan Mita tak ingin adiknya ikut campur.

“Secepatnya.”

Pada akhirnya, hanya jawaban itulah yang menurut Mita paling tepat untuk ia gunakan. Lantas, ia berlalu meninggalkan Warna yang masih setia memandangi punggungnya seolah tak cukup puas dengan jawaban yang ia berikan.

Begitu sampai di pertigaan lorong menuju kamar Anggi, Mita terpaksa menarik tuas rem langkahnya. Matanya membelalak begitu menemukan seseorang yang tak seharusnya berada di sana. Seseorang yang sudah tidak punya hak apapun lagi untuk memperhatikan Mamanya selekat itu.

Asap mengebul dari kedua cangkir kopi yang baru saja dihidangkan. Kendati aromanya sungguh menggugah, Mita tak tertarik untuk mencicipinya. Berbeda dengan pria paruh baya di hadapannya, yang langsung menyesap cairan hitam tersebut usai menghirup wanginya kuat-kuat.

Cangkir pun kembali ke tempat asalnya. Putra menjilat sisa kopi yang menempel di bibirnya, baru kemudian menatap Mita yang memasang wajah datar. “Jadi, karena ini kamu meminta Papa untuk memberikan harta warisan bagian kamu?”

“4 miliar itu memang sudah hak saya dan Warna. Hak yang seharusnya saya dapatkan dari dulu,” balas Mita, dingin.

“Sudah berapa lama?” Putra bertanya dengan suara lirih. Sejujurnya, ia tidak yakin untuk menanyakan hal tersebut. Dirinya hanya ingin memenuhi rasa penasaran yang mengganggu hatinya.

“Anda sudah tidak punya hak untuk tahu apapun tentang Mama saya.”

Sedikit tersentak dengan jawaban Mita, Putra hanya bisa menghela napas panjang. Ia berusaha terlihat tenang, walau jawaban Mita cukup menyinggungnya. “Meskipun begitu, Papa punya hak untuk mengetahui apa yang akan kamu lakukan dengan uang 4 miliar itu.”

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now