:: Bab XLII ::

307 39 0
                                    

Byur!

Hampir membuat seluruh kemejanya basah, Bram membasuh wajah dengan setangkup air yang diambilnya dengan rakus. Keran air baru ia matikan saat kondisi westafel sudah sangat penuh.

Bram menatap pantulan dirinya di cermin, menusuk bayangan kedua matanya dengan sorot paling tajam.

'Jangan bodoh, Bramasta!' hardik Bram, untuk dirinya sendiri. Tapi, berulang kali ia mencaci maki, dirinya terus teringat akan kebodohannya tadi.

Bagaimana bisa ia melihat bayangan wajah Erie di atas wajah Mita?

Pyar!

Bram memukul air yang terkumpul di dalam westafel. Menyebabkan airnya jatuh membasahi seluruh lantai. Kemejanya yang kecipratan air pun semakin kuyup.

Bram meraih liontin dari kalung yang selama ini ia sembunyikan dengan baik di balik kemejanya. Dibukanya liontin tersebut, berusaha mengingatkan dirinya sendiri atas tujuannya bisa berada di titik sejauh ini.

'Tidak, Erie. Aku tidak akan mengkhianati kamu. Tidak akan.'

Bram meremas liontin berisi foto Erie itu kuat-kuat. Lantas mengembalikannya ke tempat semula. Tapi, yang dilakukannya itu sempat terhenti tatkala muncul seruan dari headset walkie-talkie-nya.

"RED CODE! RED CODE! VVIP 1 DALAM BAHAYA!"

...

Diskusi Ashraf bersama beberapa kolega kenalannya terhenti tatkala ponsel di dalam sakunya bergetar. Dengan sopan, ia meminta izin untuk melipir. Lantas segera mengangkat panggilan tersebut.

"Ada apa?"

"Jaksa itu menggeledah kantor lagi, Pak."

Kedua alis lebat Ashraf mengkerut, "Lagi? Bagaimana bisa? Dia bawa surat perintahnya?"

"Kalau tidak bawa surat, sudah jelas saya akan mengusirnya, Pak. Saya tidak bisa menahan mereka karena mereka mengancam akan memidanakan saya jika saya menghalangi proses penyelidikan."

Ashraf menyembunyikan kepalan tangannya di sisi tubuh. Ia menggeram tertahan, bekerja keras untuk menahan emosi yang sampai ke ubun-ubun.

"Apa mereka menemukan sesuatu?"

"Mereka tidak menemukan apapun di ruangan Pak Ashraf ataupun ruangan Pak Putra. Tapi, terakhir saya lihat, jaksa itu menenteng map basah. Sepertinya dia mendapatkannya dari kolam ikan, Pak."

"Kamu bercanda? Memangnya apa yang bisa dia temukan di kolam ikan—"

Ashraf tak jadi tertawa. Hal yang awalnya ia anggap lelucon itu seketika berubah jadi sesuatu yang membuatnya khawatir.

Setelah sekian detik berlalu untuk menguntai benang kusut di kepala, Ashraf mulai mengerti. Rahangnya mengeras.

"Mereka sudah pergi?"

"Sudah sejak tadi sore, Pak."

Ashraf mematikan panggilan itu bahkan tanpa berpamitan, sesaat kemudian menghubungi nomor yang lain. Ia menunggu nada tunggu dengan harap-harap cemas.

"Halo?"

"Ya, Pak Ashraf. Apa yang harus saya kerjakan, Pak?"

"Cari tahu barang bukti apa yang Pak Dana temukan di kantor Wara Group. Lalu hubungi saya kalau kamu sudah menemukannya. Secepatnya."

...

Putra baru menuntaskan urusannya di kamar kecil, ketika ia dihadang oleh seorang pria dari bilik di sebelahnya.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now