:: Bab XLVIII ::

371 44 10
                                    

"Kamu yakin baik-baik saja?"

Sudah kedua kalinya Bram bertanya, yang dijawab Mita dengan anggukan sekenanya serta senyum kecil yang dipaksakan. Salahnya terus menanyakan. Padahal ia bisa melihat dengan jelas bahwa gadis itu tidak baik-baik saja.

"Dokter bilang apa? Mungkin ada yang salah dengan inseminasi tadi," ujarnya, seraya menepikan mobil. Ia menaruh perhatian sepenuhnya pada sang istri.

"Bukan apa-apa, kok. Kata dokter, kram perutnya wajar." Mita meremas perutnya yang masih terasa nyeri.

"Lalu apa lagi?"

Mita membalas tatapan Bram yang begitu lekat. Pria itu kelihatan sangat penasaran.

"Saya diminta jaga kesehatan. Dan katanya, kita harus tunggu 2 minggu lagi untuk cek hasilnya." Di kalimat terakhir, suara Mita mengambang. Ia meneliti perubahan raut wajah Bram.

Muncul secuil ketakutan kalau Bram akan marah padanya. Bagaimanapun, waktu 2 minggu tidaklah sebentar. Bram adalah orang yang paling getol dengan program kehamilan ini. Alasannya jelas untuk ambisi 4 miliarnya itu, ataupun tujuan lainnya yang mungkin belum Mita ketahui.

Namun, tak sesuai perkiraan, Bram hanya mengangguk. "Baiklah."

Lalu, pria itu turun dari mobil begitu saja. Mita tak sempat mencegah karena pintu terlanjur ditutup. Ia hanya bisa mengawasi kepergian Bram dengan matanya. Pria itu memasuki sebuah apotek yang tak jauh dari tempat mereka menepi.

Mita menunggu dengan kening berkerut bingung. Tidak butuh waktu lama hingga sang suami kembali. Bersama kantung plastik yang kemudian diserahkan kepadanya.

"Pakai itu nanti di rumah. Lalu istirahat. Saya akan kembali ke kantor setelah mengantar kamu pulang."

Mita mengeluarkan isi kantung plastik itu. Ada 2 bungkus pad hangat yang biasa digunakan sebagai pereda kram perut. Spontan, ia menoleh pada Bram yang fokus pada setir kemudi.

...

Mereka sampai di teras lobby gedung apartemen. Sebelum turun, Mita menyempatkan bertanya.

"Tadi pagi, kamu kemana? Saya telfon sekretaris kamu katanya kamu datang terlambat ke kantor. Sedangkan kamu berangkat pagi-pagi sekali."

Bram tidak langsung menjawab. Ia tak cukup yakin untuk memberitahu Mita mengenai jabatan barunya.

Lagipula, rasanya tak perlu Mita tahu urusannya. Sehingga Bram memilih untuk menarik napas lantas menjawab seperlunya.

"Ada urusan."

"Urusan apa?"

"Kamu tidak perlu tahu."

"Berkaitan dengan perusahaan?"

Bram mengarahkan pandangannya kepada Mita. Bibirnya kembali merapat, lagi-lagi tidak langsung menjawab.

"Atau urusan dengan Bunda? Atau Vanessa?"

"Kenapa kamu ingin tahu sekali urusan saya?" balas Bram, terdengar ketus. "Kamu tidak perlu tahu ataupun ikut campur urusan saya. Sesuai kesepakatan kita di awal."

Balasan Bram itu membuat Mita tertegun. Hatinya seperti dicubit. Ia hampir lupa akan hal tersebut. Tak ada kewenangan untuknya tahu urusan Bram, mau sekeras apapun ia mendesak pria itu bercerita.

Mita pun memilih turun dari mobil Bram usai mengucapkan terima kasih dengan suara lirih. Tanpa menunggu Bram pergi atau sekedar mengingatkan pria itu untuk berhati-hati, Mita langsung masuk ke dalam lift.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now