:: Bab XXXVII ::

305 32 4
                                    

"Mas Bram sudah lihat berita hari ini?"

"Belum. Kenapa?"

"Orang yang mengunggah artikel 'proyek jalan tikus' itu tewas, dibunuh."

Tidak cukup terkejut, Bram masih mampu mengendarai mobilnya dengan tenang. Ia membiarkan Adam terus berbicara melalui sambungan telfon mereka.

"Tadi pagi saya udah ketemu sama Juan Dewananda. Dia kelihatan kaget saat saya minta dia untuk memberi informasi tentang tragedi itu."

"Lalu, apa dia setuju dengan penawarannya, Dam?"

"Saya diusir, sih, Mas. Tapi, saya sengaja meninggalkan kartu nama saya."

"Tidak apa-apa. Setidaknya, dia tahu bahwa kita sedang mengusut kasus itu." 

"Menurut Mas Bram, dia bakal laporan ke Putra Adiswara atau gak terkait penawaran saya?"

Bram berpikir sejenak, sebelum akhirnya menghela napas, "Saya tidak yakin tentang itu. Kita harus ingat bahwa Felix Dewananda langsung mundur dari jabatannya dan pergi ke Korea setelah tragedi tersebut. Ada kemungkinan dia sengaja memutus kontak dengan Putra Adiswara agar tidak dicurigai terlibat dan dengan kemungkinan itu, rasanya Juan Dewananda juga pasti melakukan hal yang sama."

"Tapi, Juan Dewananda direkomendasikan sebagai GM Dandelions Hotel oleh Putra Adiswara. Bukannya itu berarti hubungan mereka berdua baik-baik saja?"

"Atau berpura-pura baik-baik saja." Bram menyahut dengan cepat. Pedal rem langsung ia injak begitu lampu lalu lintas berwarna merah.

"Apa mungkin Putra Adiswara sengaja membawa Juan Dewananda balik dari Korea karena suatu alasan? Dan merekomendasikan Juan Dewananda sebagai GM Dandelions Hotel cuma kedok belaka?"

Bram merenungi kata-kata Adam. Tidak ada satupun kemungkinan yang boleh dibiarkan. Semua kemungkinan harus mereka cermati baik-baik karena berpotensi sebagai akar dari permasalahan yang ada. Apa yang Adam katakan ada benarnya juga.

"Mulai sekarang, kita awasi dia. Akan lebih baik kalau kita tahu dia menemui Putra Adiswara. Kita pasti bisa dapat petunjuk darinya meski  sedikit."

...

Cahaya matahari berpendar, menembus melalui tirai bambu yang memiliki sedikit celah. Tanaman pinus Jepang menjadi pemandangan apik untuk dilihat dari balik kaca. Namun, topik pembicaraan yang terlalu rumit membuat kedua orang itu tak bisa menikmatinya. Termasuk untuk menikmati berbagai jenis sashimi yang disajikan dengan tampilan menarik dan mewah.

"Saya tidak menyangka kalau anda mau repot-repot menemui saya seperti ini."

Usai menyesap ocha dan membiarkan sensasi pahit menyebar di lidah, Putra mengambil napas dalam. Belakangan, sakit yang sering mendera dadanya turut membuat napasnya jadi lebih sesak.

"Seorang pemimpin yang baik adalah seseorang yang mau terjun langsung untuk menyelesaikan setiap keributan yang dibuat di wilayahnya," sahut pria itu kemudian.

Putra memindai pria di hadapannya, yang mengingatkannya akan seseorang yang ia kenal. Tak lain dan tak bukan adalah Ayah dari pria itu sendiri.

"Bagaimana kabar Setya? Sakit kakinya masih sering kambuh?"

Seraya meregangkan simpul dasi yang terlalu mencekik, Dana menyunggingkan satu senyum kecil. "Berkat anda, Ayah saya bisa menggunakan kakinya dengan baik sekarang."

"Syukurlah." Putra turut tersenyum. Tapi dari sorot maknanya, ia tidak terkesan senang atas kabar baik itu. "Kalau kamu berterima kasih atas bantuan saya untuk Ayah kamu, bukankah harusnya kamu bisa menjaga sikap?"

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now