:: Bab LI ::

338 40 1
                                    

Sebuah rutinitas, Juan menghadiri morning briefing bersama seluruh Head of Department. Setelah menerima laporan terkait revenue dan occupancy hari ini, beberapa HOD tersebut juga menyampaikan masalah-masalah yang ada di departemen masing-masing.

Juan masih mendengarkan itu semua dengan seksama dan penuh konsentrasi. Namun, sedikit terinterupsi ketika ponselnya bergetar.

Terbiasa untuk tidak menggunakan ponsel saat rapat, Juan memutuskan untuk mematikannya dan memasukkan benda pipih itu ke dalam saku celana. Begitu morning briefing selesai, barulah ia menyalakan kembali ponselnya dan menemukan banyak panggilan tidak terjawab dari nomor tak dikenal.

Ketika Juan sedang mengingat-ingat siapa pemilik nomor itu, ponselnya berdering. Nomor yang sama mencoba menghubunginya kembali.

"Halo?"

"Ini saya. Bramasta."

Kedua alis Juan bertaut. Untuk apa Bram menghubunginya pagi-pagi begini?

"Kamu dekat dengan Mita, kan? Kamu tahu tempat dimana Mita biasa menyendiri?"

"Kenapa menanyakan itu?" Juan balik bertanya. Responnya terkesan dingin.

"Kemana Mita pergi jika dia sedang memiliki masalah?"

"Kalian bertengkar?" tebak Juan dengan cepat. Rasa ingin tahu bercampur cemas itu menghiasi bola matanya.

"Kamu tidak perlu tahu masalah kami. Cukup beritahu dimana tempatnya."

Bram mendesak. Dari nada bicaranya, Juan mengerti bahwa pria itu cukup frustasi. Masalah mereka pasti bukan masalah sepele, hingga membuat Mita pergi tanpa memberitahu Bram.

Juan berpikir cepat. Lantas menghela napas.

"Taman sekolah kami. SMA Pelita Nusantara."

"Kamu yakin?"

"Terserah anda mau percaya atau tidak."

Setelahnya, Juan langsung mematikan sambungan secara sepihak. Ada keraguan di air mukanya. Namun, dengan cepat ia menyingkirkan keraguan itu karena kondisi Mita jauh lebih penting. Langkah besarnya pun membawanya ke parkiran, alih-alih menuju ruangannya.

...

Terlalu lama menangis, Mita tak sadar bahwa dirinya sudah terlelap selama hampir 1 jam dengan posisi duduk di atas pasir. Suara deburan ombak yang berhasil membuatnya terbangun.

Ia pikir, dengan tertidur, setiap hal yang menumpuk di dalam pikirannya akan langsung sirna. Sehingga begitu terbangun, ia akan lupa segalanya.

Sayangnya, tidak semudah itu. Satu hal bodoh yang baru ia sadari bahwa ia masih menggenggam liontin berisi foto Valerie milik Bram.

Seperti sudah diatur otomatis, semua hal yang sejak semalam menguasai pikirannya pun kembali datang. Begitu cepat, tanpa bisa Mita kendalikan. Memperburuk suasana hatinya yang sudah hampir membaik.

Mita membuang napasnya dengan kasar saat luka di hatinya kembali terbuka. Tangannya pun mengepal dengan kuat. Berharap dengan begitu, liontin itu akan hancur.

Mita berusaha mengelabui dirinya sendiri bahwa matanya yang kembali berair disebabkan angin pantai yang terlalu kencang. Tapi, rasa sakit yang mendera hati kecilnya tentu tak bisa ditutupi. Terlalu sakit hingga ia ingin menangis lagi.

Pada akhirnya, Mita memilih untuk bangkit. Tetap di sana justru akan membuatnya tenggelam dalam luka. Sedangkan Mita tahu harusnya ia bisa mengambil suatu tindakan.

Mita menyeka sisa air matanya secara asal kemudian berbalik. Namun, setiap pergerakannya terhenti saat menemukan seseorang berdiri tak jauh darinya. Melayangkan tatapan sayu penuh kekhawatiran untuknya.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang