:: Bab XIX ::

289 33 4
                                    

"Terima kasih atas waktu yang sudah Bapak-bapak sekalian sempatkan untuk meeting kali ini. Saya harap, kerjasama kita bisa berjalan lancar ke depannya."

Kalimat penutup itu mengakhiri rapat yang sudah berlangsung selama 2 jam terakhir. Mita menyalami satu persatu investor baru yang akan mendukung pembaharuan Dandelions Hotel sebelum mereka pergi.

Sampai pada akhirnya, di meeting room itu menyisakan dirinya berdua saja dengan Ashraf. Mita tengah memeriksa ponselnya ketika pria berkacamata itu berbicara.

"Tuan Putra memuji kemampuan Nona Mita dalam memimpin rapat tadi."

"Begitukah? Tolong sampaikan ke Papa, terima kasih banyak."

"Tuan Putra juga menanyakan keputusan Nona Mita tentang rencana pernikahan Nona dengan Bramasta."

Minat Mita untuk memainkan ponselnya lebih lama pun seketika sirna. Ia menghela napas panjang. "Seingat saya, saya sudah menolak rencana itu kemarin. Kenapa masih ditanyakan?"

Ashraf tak menjawab apapun. Lagipula, ia juga tak punya kuasa untuk menjawab pertanyaan yang satu itu.

Mita merapikan dokumen-dokumennya dan berdiri, "Tolong atur jadwal pertemuan dengan Papa saya. Saya akan bicara langsung dengannya tentang masalah ini."

Mita beranjak keluar. Gadis itu berjalan cepat menuju lift. Raut wajahnya menunjukkan rasa jengkel yang bercokol di dalam hati.

"Tidak perlu susah-susah atur jadwal. Kita bicarakan saja sekarang."

Langkah Mita spontan berhenti. Kehadiran sang Papa yang tiba-tiba sudah ada di depannya sukses membuatnya mengerutkan dahi.

"Papa, kok, sudah sampai sini? Bukannya Papa di rumah tadi?"

Putra memilih diam akan pertanyaan itu dan melewati Mita begitu saja. Ia duduk di kursi tunggal yang ada di ujung meja. Tempat Mita duduk sebelumnya.

Mita melirik pada Ashraf. Namun, pria itu mengabaikannya meski Mita yakin bahwa pria itu sadar akan lirikannya.

Lantas dirinya berasumsi bahwa pada dasarnya, Ashraf sudah tahu kalau Putra mengikuti jalannya rapat tadi tidak hanya melalui online meeting namun juga di ruangan yang berbeda di restoran ini. Singkatnya, skenario ini memang sudah diatur.

Mau tak mau, Mita kembali masuk ke dalam dan menempati bangku kosong di sisi kanan Papanya. Tanpa mengulur waktu, ia membuka pembicaraan.

"Mita menolak menikah dengan Bram."

Putra mendengus kecil, "Siapa bilang kamu bisa menolaknya, Mita?"

Lipatan kerut di kening Mita menjadi semakin dalam. Ia tak cukup mengerti atas dasar apa Putra mengatakan demikian. "Jelas Mita bisa menolaknya, Pah. Itu hak Mita."

Seolah tak peduli dengan pembelaan Mita, Putra beralih pada Ashraf. Ada kode yang diberikan melalui anggukan. Hingga akhirnya, pria berkacamata itu mengeluarkan selembar kertas dari dalam map yang dia bawa.

"Kamu pasti tidak membaca poin dalam surat perjanjian kita dengan teliti," tebak Putra. Mita langsung menerima kertas berisi surat perjanjian yang sudah ada tandatangannya itu dari tangan Ashraf.

Terlihat gelisah, bola matanya menelaah satu persatu kata yang tertera pada surat tersebut. Ia dibuat termenung saat menyadari kesalahan besar yang telah diperbuatnya kemarin.

"Poin 10, pasal 1. Pihak kedua harus bisa memenuhi tanggung jawabnya untuk menghasilkan keturunan yang murni darah daging keluarga Adiswara dan akan dijadikan pewaris Wara Group selanjutnya. Poin 1, pasal 2. Jika pihak kedua tidak bisa menyanggupi seluruh poin yang ada di dalam pasal 1, maka pihak kedua tidak akan mendapatkan hak atas warisan yang sudah disepakati dan wajib mengembalikan seluruh uang yang sudah diberikan untuk memenuhi keperluan pihak kedua."

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now