Catatan: Mencintai atau Dicintai?

42 1 2
                                    

Lagi-lagi tentang waktu aku menulis untukmu. Berjalan mundur ke belakang, kukira hanya akan membuatku terjatuh. Aku perlu berbalik, menghadap penuh masa lalu yang takkan lagi berada di depan. Ya, tentu saja. Namun bagaimana bila untuk sekali ini saja, aku berbalik. Menghadap penuh masa lalu yang kini memintaku 'tuk menjalaninya. Bukankah dengan berbalik dan berjalan menujunya, sekali ini saja ia berada di depanku? Aku hanya ingin berbalik sebentar, melihat kembali jejak-jejak kisah yang kini bersisa jalanan yang kosong.  Tentu saja kehadiranmu adalah nihil.

Kilas balik ini sama sekali bukan jatuh cinta. Ada banyak sekali kepingan hati yang berserakan di sana. Namun aku tetap menapak pada jalanan kosong itu. Sedang pada kedua sisi jalan ini, kulihat mata-mata hati yang mengintai dalam diam.  Menyelisik rasa sakit yang kini kugunakan sebagai lentera dalam perjalananku kembali pada masa lalu.

Kau tahu, jalanan ini teramat panjang. Dan aku baru menyadarinya dalam kata ternyata. Ia sejauh harapan kita pada sang kekasih yang tak pernah berbalas kasih. Namun ia pun setegar pendirian kita. Untuk tetap berharap walau tersakiti adalah kenyataan yang bersembunyi dibalik kata biarlah. Membiru, ia seperti racun yang terperih. Harusnya kita telah lama mati dalam kebahagiaan semu. Sebab kenyataan terlalu nyata menghancurkan harap itu sendiri.

Aku masih terus menapak, membiarkan bias cahaya lentera ini atau apa yang kusebut tadi dengan rasa sakit, memunculkan kembali wajah pelakon kisah lama dan cuplikan kenangannya dalam ingatanku. Dan bukan suatu kebetulan, kutemui sepasang yang mengaku dirinya sebagai pemilik mata-mata hati yang mengintai dalam diam. Mereka sama-sama rapuh. Terlalu jauh mengejar sang kekasih. Atau lebih tepatnya, terlalu dalam menyakiti diri sendiri. Dan aku tak punya kata berarti 'tuk diberi. Nyatanya, sepasang itu memilih rasa sakit mereka masing-masing.

Yang satu pergi melanggang buana, menyusuri hutan jati diri. Tak peduli derasnya hujan yang jatuh, atau pada kilat yang menyambar-nyambar. Sebab gemuruh dalam hati adalah nelangsa yang tak punya jalan pulang. Ia butuh penawar. Sebab cinta yang baru masih dalam perjalanannya bersama waktu. Tak peduli siapa sosok itu, ada rasa yang perlu dibalas. Mencintai atau dicintai, asal jangan rasa sakit itu.

Sedang yang lain, ia adalah seorang gadis muda yang tetap ada di sana. Tak sedikit pun bergeming dengan doa yang 'tak pernah amin. Mungkin di situlah letak salahnya atau memang ketetapan takdir 'tak selamanya adalah cinta yang berbalas. Linangan air matanya adalah untaian kenangan yang meminta terulang kembali. Masih juga terpaut pada waktu, keyakinannya hanya satu. Dicintai oleh dia yang juga mencintainya. Dengan begitu, segala khayalan gila takkan menjadi pemicu para pencuri kenangan bersemayam dalam ingatannya.

Sepasang itu menghentikan langkahku. Tidak. Mereka bukan sepasang kekasih, sekali pun berdiri berdampingan. Lewat telepati, mereka membisikkan harap padaku akan nama yang tersemat pada tiap-tiap mata hati itu.

Maka di sanalah aku kehilangan pengetahuanku. Yang kupunya hanyalah perasaan yang membantu lentera ini agar tetap menyala. Perihal mencintai dan dicintai, sepasang itu dan harapnya masih jauh dari kata bahagia. Namun mereka tetap mengejar apa yang diyakini. Mungkinkah menemukan kekasih yang baru atau tetap menyendiri bersama bayang masa lalu. Aku kehilangan pengetahuanku. Tak ada lagi yang mampu kulihat sejauh perjalananku ... berbalik pada masa lalu.

Namun masih tentang waktu, secepat kilat akan kugunakan untuk kembali. Berlama-lama dalam masa yang telah usai hanya seperti membakar diri dalam api. Lambat laun, tiada yang tersisa. Bahkan penyesalan telah menjadi bagian dari ketetapan takdir.

Pada akhirnya, aku berbalik menuju tempat di mana sekarang aku berada. Sempat kulihat sepasang itu melambai padaku—si yang tahu segalanya dari masa depan. Tentang nanti yang lebih baik dari ini. Bahwasannya patah hati takkan dibawa mati. Tiada yang benar-benar tetap selain perubahan.

Dan aku kini tersenyum getir mengenangnya. Betapa dahulu rasa sakit adalah segala yang membutakan hariku. Cinta tak berbalas jauh lebih sadis menghunus ulu hati. Ia sama seperti sang kekasih yang memilih melangkah pergi, membiarkanmu hidup bersama kenangan dan angan. Satu-satunya racun terperih yang dimiliki sepasang itu.

Biarlah, dari sini aku kembali. Sebab sepasang itu kudapati dalam diriku ... pun 'kau. Menyadari betapa sungguh kini patah hati adalah pelajaran paling berharga. Nyatanya, kau tak perlu terlalu keras pada dirimu juga pada pilihanmu. Toh, masih tentang waktu, ia akan membawamu menuju ketetapan takdir.

Jadi, mencintai atau kah dicintai?
Kurasa aku punya keduanya.
Dan kau punya berbagai analogi yang membuatku meyakininya.

• 7 Maret 2021

Antologi Cerpen Dan PuisiWhere stories live. Discover now