Cerpen: Takdir

866 15 0
                                    


Sembilan tahun yang lalu.

Suara keributan itu berasal dari dalam rumahku. Aku berjalan masuk dan melihat pemandangan yang tidak seharusnya dilihat oleh seorang anak berusia delapan tahun. Keadaan rumah benar-benar kacau. Pecahan kaca yang berserakan di mana-mana, umpatan kasar yang keluar dari mulut ayah, juga tangis kesedihan ibu yang memohon agar ayah tak meninggalkan kami
Aku berlari memeluk ibu dan menangis. Perasaanku benar-benar hancur. Aku tak menyangka sosok yang selama ini kusebut dengan 'ayah' itu tega berbuat sekasar itu. Aku tak pernah melihatnya seperti ini sebelumnya. Ayah tidak akan pernah bersikap kasar pada ibuku, sekalipun ia sedang marah. Dan melihat ayah saat itu membuatku yakin bahwa dia bukan ayah yang selama ini kukenal.

"AYAH JAHAT!!!" Pekikku seraya berlari dan kemudian memukul tubuh ayah berulang-ulang dengan kedua tanganku.
Aku sadar, pukulanku saat itu tak sebanding dengan kekuatan ayahku. Ayah mendorongku hingga akhirnya terjatuh di lantai. Aku masih ingat perkataan yang dikeluarkannya saat itu. Saat sebelum dia benar-benar meninggalkan kami. Dan aku bertaruh, aku takkan pernah melupakannya sampai kapanpun.

"Jangan pernah panggil aku Ayah! Aku tidak pernah sudi menganggap kalian keluargaku!" Bentaknya yang kemudian berlalu melewatiku dan ibu menuju seorang perempuan yang tengah berdiri di depan pintu entah sejak kapan.Kulihat wanita itu menyeringai menatap ibuku yang tengah memohon agar ayah tidak meninggalkan kami. Kupikir ayah akan menimang sejenak untuk tidak meninggalkan kami. Ternyata aku salah besar. Ayah lebih memilih untuk meninggalkan kami.

Dan sejak saat itu, aku tumbuh menjadi gadis pendiam yang jarang berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Aku hanya memiliki dua orang sahabat, yakni Bella dan Andi. Selebihnya, aku hanya menghabiskan hari-hariku di rumah dengan melukis seorang diri di balkon kamarku dan berandai bahwa kehidupanku dapat kembali seperti dulu, sebelum segalanya menghapus kebahagiaanku.

***

"Bu, Good Day-nya dua." Ucapku pada Bu Kantin yang tersenyum saat melihat kehadiranku dan juga Bella

"Bolos lagi?" Ucap sebuah suara yang membuatku menoleh ke samping dan mendapati Andi tengah menatapku dengan kedua mata hazel miliknya. Ia tersenyum penuh arti padaku.

"Jangan gitu dong, Andi. Devara tuh nggak bolos." Bella berusaha membelaku.

"Kamu harus tahu satu hal. Aku tuh nggak bolos, cuma lagi dikeluarin aja dari kelas." Tambahku dengan datar seraya mengangkat kedua alisku.

"Oh, kok bisa kamu dikeluarin dari kelas?" Tanyanya penasaran.

"Ya karna aku terlalu pintar dan terlalu cantik. Makanya dikeluarin dari kelas."
Andi sontak tertawa seraya menggelengkan kepalanya.

"Ngawur, kamu! Aku tahu, pasti gara-gara nilai kamu jelek semua, kan? Makanya, belajar yang bener."

Aku hanya mengangguk sambil bergumam, tanpa menoleh ke arahnya.

Dia kembali berujar sambil tersenyum. "Penasaran kan, dari mana aku tahu?"
Aku menggeleng seraya berujar dengan acuh. "Nggak, tuh. Kamu aja yang kepedean."

"Dia dikeluarin dari kelas karna orang tuanya nggak memenuhi panggilannya bu Ratna," jelas Bella. "Dan sekarang kita tuh lagi mikir konsep buat pameran lukisan yang mau diadain sama Vara nanti," tambahnya lagi.

Andi bergumam. "Pameran lukisan? Dalam rangka?"

"Bertepatan sama anniversary-nya orang tuaku. Aku cuma mau nunjukkin ke mama kalo aku tuh masih ada sebagai anaknya dan nggak akan pernah ninggalin dia. Sejak orang tua aku pisah, mamaku itu berubah 360°. Aku ...," belum sempat aku menyelesaikan penjelasanku, terdengar suara seorang guru berpakaian olahraga meneriaki nama Andi dan membuatnya tersentak.

Antologi Cerpen Dan PuisiWhere stories live. Discover now