Puisi: Hutan Awan

119 7 0
                                    

Awan kemawan adalah segala yang iasuka.
Titik-titik airnya yang halus,
Berarak, melaju bersama sang waktu.
Tak pernah sekalipun menetap.

Puncak gunung 'kan mempertemukanmu dengannya, bila saja kau menghendakinya.
Namun terlampau banyak halimun 'kan menutup jalanmu.
Pun cahaya mentari tak pernah mampu menerobosnya,
Dan berlari bukanlah pilihan yang tepat.

Sejenak kau dengar desas-desus tentang hutan itu,
Yang katanya selalu diliputi awan, namun tanahnya kering kerontang:
Tiada yang bertahan di sana.
Entah bagaimana dengan para pendahulu.

Namun kedua kakimu memaksa 'tuk menjelajah.
Layaknya dedaunan yang menjulang tinggi, yang akhirnya basah karena awan, kau pun basah dalam tangis.
Angin pasat akhirnya menyilukan tulangmu.

Awan-awan rendah menyirami hutan itu dengan hujan,
Sesekali menyelimutinya dengan kabut.
Hingga langkahmu akhirnya mundur ke belakang,
Atau jiwa yang masih terperangkap di sana.

Aku ... ingin menuntunmu ke sana,
Jauh ke dalam hutan awan itu.
Namun penglihatanku direnggut,
Dan aku tak ingin mengambilnya (kembali).

Hutan awan itu tingallah cerita, namun ia tetap menyukainya.
Kau akhirnya berlari menuju kota,
Bermalam di rumah sang dara, sedang di luar sana awan arkus tengah membayang.

Dan aku buta dalam harapku:
Menanti lantunan Serenade,
Yang turut menyertaiku menyambut pagi
Bersama sang pendahulu yang berhasil menemukannya.

Kota Hujan, 15 Desember 2019

Antologi Cerpen Dan PuisiWhere stories live. Discover now