Cerpen: Si Gembul

345 9 0
                                    

Harus kuakui cuaca hari ini benar-benar di luar imajinasiku. Kuawali hariku dengan meneguk secangkir teh hangat sambil berusaha meniru gaya bapakku yang senang membaca koran sambil meminum teh. Tidak terlalu sulit. Kulihat trending topic pagi ini berbicara mengenai maraknya penggunaan narkoba di kalangan remaja.

"Dwi Putra Santoso," kutarik senyumanku saat menyebut nama itu, nama yang tertera di halaman koran sebagai salah satu contoh buruk remaja masa kini. Bapak menengok sekilas sambil menggelengkan kepalanya saat melihatku yang sedang berlagak layaknya orang tua yang membutuhkan banyak asupan berita untuk menambah materi pembicaraan mereka dengan orang lain.

"Bukankah itu temanmu, Man?" Aku menaikkan kedua alisku, kemudian menggeleng. "Memangnya aku ini siapa? Aku tidak kenal dengan dia, Pak," ujarku

"Apa kau lupa dengan janji 'Centong Nasi' yang pernah kau ceritakan pada Bapak?"

Aku masih terdiam mencoba mengingat kembali maksud perkataan Bapak, juga mengingat kembali di mana dan kapan aku pernah menceritakan janji itu. Seingatku, aku tidak pernah mengadakan janji dengan siapapun.

Tiba-tiba Bapak memanggil ibu, meminta ibu untuk membawakan sebuah centong nasi pada kami yang notabenenya sedang duduk di teras depan rumah. Tak lama setelah itu ibu datang sambil membawa sebuah centong nasi kayu serta memberikannya pada bapak.

"Baca tulisan ini," bapak lalu menyodorkan centong nasi itu sambil menunjuk pada ukiran yang terdapat di situ.

"TCT? Seperti inisial sebuah bahan peledak. Aku tidak tahu, Pak." Kukembalikan centong nasi tersebut pada bapak yang disambut dengan desahan napas panjang darinya.

"Kau benar-benar lupa dengan benda ini? Maman, kau baru satu tahun merantau di New York, lalu secepat itu kau lupa dengan semuanya?" Bapak berujar sambil menahan tawa.

"The Cicak Terbang...."

Seketika waktu berjalan mundur ke belakang, membawaku terbang bersama angin, lalu mendaratkanku tepat di sebuah tempat asal mula semua ini terjadi.

Terminal B pasar Terong.

***

Di bawah terik matahari, dua orang lelaki muda sedang berunding. Mereka masih berpakaian SMA. Salah seorang dari mereka berbadan gembul sedangkan yang lainnya berbadan kurus. Pose mereka ketika bersatu layaknya angka 10 atau 01, tergantung dari mana kau melihatnya. Kedua lelaki itu tidak lain adalah aku dan Putra, dua orang sahabat karib yang kalau bertemu pasti saja beradu mulut karna pola pemikiran kami terpisah antara dua kutub. Kala itu kami masih remaja berusia 17 tahun yang sedang dimabuk cinta pada seorang gadis yang sama.

"Jadi begini, kau tahu kan aku sudah lama naksir dengan si Nilam itu?" Tanya Putra sambil menepuk pundakku.

"Lalu, apa hubungannya denganku?" Aku balik bertanya.

"Jangan berpura-pura Maman, aku tahu kau juga suka padanya," ia tertawa sejenak, "kau pikir aku tidak tahu? Aku bisa membaca bukumu jauh sebelum kau menulisnya," lanjutnya dengan bangga.

"Lalu, apa maumu? Kau ingin berkata bahwa aku tidak seharusnya suka pada Nilam?" Tanyaku sedikit ketus

Putra sontak tertawa keras seraya memukul kepalaku.

"Sebentar," ia merogoh sesuatu di dalam saku celananya kemudian berjalan melewatiku dan berhenti tepat di depan seorang wanita paruh baya yang tengah menjaga jualannya sambil bernyanyi dengan lantang.

Aku hanya mengamati pergerakannya dari jauh. Terlalu malas untuk menyusulnya ke sana, aku memilih untuk berubah menjadi patung hidup sambil mengamatinya yang sedang tawar-menawar dengan wanita paruh baya tersebut. Beberapa menit kemudian setelah menemukan titik terang, ia akhirnya kembali sambil membawa dua centong nasi kayu berwarna cokelat.

Antologi Cerpen Dan PuisiWhere stories live. Discover now