Catatan: Terkadang Kita

123 5 2
                                    

Terkadang kita sering bertemu dengan orang-orang baru. Mengawali cerita dengan proses perkenalan. Awalnya sekadar saling tatap saja rasanya dunia akan runtuh di depan kita, sekali bersua saja rasanya seperti ingin meneriaki satu kota untuk diam. Ya, biasanya awal selalu hadir dengan sejuta topeng yang kita tampilkan dibalik sebuah senyuman yang diam-diam menahan malu.

Awalnya segan masih menduduki posisi teratas pikiran kita dan canggung adalah perhiasan utama yang akan kita perlihatkan ketika sebuah kesempatan hendak menyapa keberuntungan. Lalu makin ke sini, yang awalnya mulai beradaptasi menjadi yang biasanya kamu lihat. Canggung bukan lagi perhiasan dan segan sudah lama mengosongkan tempatnya di posisi teratas.

Kerap kali, kenegatifan datang membungkus pikiran kita. Selalu kita hanya cepat mencela suatu permasalahan tanpa mencari tahu terlebih dahulu apa penyebabnya. Tak jarang pula, berbicara sebelum berpikir menjadi senjata utama kita yang melesat begitu saja sebelum pelatuk ditarik. Dan sering kali terjadi, kesalahpahaman telah menjadi gaya masa kini.

Siapalah orang-orang baru itu, bila hari telah berlalu, dan sisi lain kita mulai terungkap? Kita tak lagi mau tersenyum tulus dan rasanya sulit saja tersenyum pada orang yang selalu menjadi tumpuan ketidaksukaan kita. Kita cenderung mengeluh, bahkan jika mereka hanya menawarkan makanan dan bukan menyenggol tubuh kita. Kita cenderung memanas, lalu meledak sejadi-jadinya bila tiada lagi nama yang akan mereka teriaki selain nama kita. Namun bukan tanpa sebab, bila saja kita menelisik jauh lebih dalam lagi. Bila saja kita tidak hanya melihat dari satu sudut pandang. Ada banyak kemungkinan mengapa seseorang yang kita benci itu bergantung pada kita. Dan kadang kala semua berpulang pada kita juga, pada kacamata yang kita pakai.

Aku pernah melihat sebuah foto yang dipasang temanku pada salah satu sosial media. Kesan pertamaku saat melihatnya ialah gambar tersebut tak ayal sebuah gambar editan yang dibuat orang seolah-olah sebuah keajaiban telah terjadi dan kita harus mempercayainya sebab hal itu benar-benar terjadi. Aku melihat sebuah batu seakan mengambang di antara udara dan tanah. Tanpa pengait, tanpa tali-temali apapun. Namun ketika aku melihatnya sekali lagi, lewat sudut yang berbeda, kudapati gambar aneh itu ternyata adalah gambar sebuah batu yang berada persis di tengah sebuah sungai, dan perairan sungai itu sedang memantulkan bayangan pepohonan yang tumbuh di sekitarnya.

Beberapa detik setelah menyadarinya, aku terdiam. Rupanya memang selama ini kita telah mempersiapkan diri dengan hidup yang monoton. Kita terlalu menyugestikan banyak hal. Seolah itu adalah hal-hal buruk dan orang-orang yang membawanya adalah mereka yang hanya ingin menyusahkan hidup kita. Dan sebab itu, segala nasehat juga wejangan mereka terbiarkan begitu saja oleh kita, layaknya angin lalu. Namun bila saja kita melihat dari sudut pandang yang berbeda, pasti selalu saja ada sisi baik dibalik segala yang tengah membelenggu kita.

Namun terkadang kita seperti ini. Terlalu terbiasa mengeluh pada hidup, menyumpahi mereka yang menjadi tantangan hidup kita, dan menaikkan bendera perang pada lika-liku takdir yang menjadi hambatan kita dalam melangkah. Terkadang kita senang melibatkan orang lain, sebagai korban ataupun alat untuk kemenangan ego sendiri.

Sehingga yang awalnya hanya tunduk dan berjalan begitu saja sesuai perintah, telah menjadi apa yang biasanya kamu lihat. Lama-lama kita menjadi seorang pembangkang. Hanya menunduk saat berhadapan, namun segera topeng akan kita lepas demi menunjukkan siapa sebenarnya kita. Dibalik tubuh mereka yang menganggap kita ini andalan segala hal. Lalu kita mulai menjalani hidup sebagai pencuri yang bekerja di kantor kepolisian. Cepat sekali menangkap penjahat. Namun kejahatan sendiri tak mampu ditemukan di sudut manapun.

Lalu akhirnya, kita baru akan mengenang segalanya, menulis catatan harian, menangisi hari-hari yang telah berlalu, yang telah kita lewatkan begitu saja, lalu menyesalinya berulang kali. Sebab dalam benak kita hanya ada benci, benci, dan seluruh jejerannya. Namun ketika sebuah kata perpisahan datang seperti bendera putih atau kuning yang tengah kaulihat di depan rumah ini, barulah hatimu tersentuh.

Kamu sudah sangat kalah, terhadap ego dan kepada palu yang bermaksud menempamu. Dan akhirnya, bila saja hati kecilmu masih ada, ia mungkin akan meneriaki namamu berulang-ulang. Bahwa segala ujaran kebencian yang kausematkan pada mereka, atau siapapun itu, tidak lebih dari sebuah bumerang yang kembali padamu. Dan bila saja kau mengerti, cobalah untuk tidak menyisipkan kenegatifan dibalik daun telingamu. Hingga suatu saat dunia ini akan pulih kembali, jauh lebih segar dibanding aroma kebencian yang pekat menutup atmosfer ini.

Bagaimana apa kamu setuju? Ataukah kamu adalah bagian dari 'terkadang orang hanya melihat, tanpa benar-benar menyimak, mendengar tanpa benar-benar meresapi'?

Kota Hujan, 10 Agustus 2019

Antologi Cerpen Dan PuisiWhere stories live. Discover now