Catatan: Merenungi Malam

131 2 0
                                    

Mungkin cuma malam, yang menjadi saksi bisu atas setiap kejahatan yang dilakukan di setiap jalanan kecil, pada lorong-lorong yang sepi, atau mungkin pada jalan raya yang dipenuhi orang buta. Mungkin cuma malam, saat teraman bagi para pendiam, 'tuk mengeraskan teriakan mereka dalam hati atau menumpahkan isi kepala yang penuh kemelut. Dan mungkin memang cuma malam, teman tidur yang selalu menghadirkan kenangan, berujung doa penuh harap, "Semoga semua akan baik-baik saja keesokan harinya."

Namun terkadang, realisasi doa tidak melulu tentang, "Baik-baik saja." Tidak melulu seperti tisu atau sapu tangan yang mengusap wajahmu, kala tangis membanjir sadis di bawah matamu.

Kita ini sebenarnya siapa? Manusia-manusia berhati lemah yang selalu lari dari kenyataan, lalu berhenti pada persimpangan jalan, atau manusia-manusia berhati baja yang selalu mengelak untuk berjalan pada jalur kehidupannya sendiri, ataukah kita manusia-manusia berhati kapas, yang menyerap begitu saja suratan takdir dalam simpul keikhlasan, sambil tetap menggumamkan doa-doa penguatan?

Kita ini ... lahir dan besar bukan saja hanya untuk mencerna manisnya kehidupan, atau meneguk secangkir tawa yang manis, bahwasannya cuaca akan selalu cerah, dan mentari akan selalu tenggelam dengan sempurna, dan bahwa tiada duka yang akan menyertai. Kita ini lahir dan besar, bukan hanya untuk mencari tambatan hati, agar kelak berujung bahagia seperti akhir dari kisah-kisah manis yang saban malam didongengkan pada kita sebelum tidur. Bahkan, sebelum bertemu akhir yang mengharukan bersama pangerannya, Cinderella pun harus terseok-seok meminta belas kasih ibu dan saudara tirinya. Juga Bawang Putih yang harus merelakan kepergian ayahnya. Lantas bagaimana dengan kita? Sudahkah kita berkaca pada kenangan? Seberapa jauh usaha kita untuk hari ini? Atau seberapa kuat fondasi kita tentang mimpi esok hari? Berjaga-jaga bagaimana bila besok ada pasang yang akan menerjang mimpi kita, atau petir yang menyambar, lalu meniadakan harapan kita tentang esok?

Sungguh, hidup ini jauh lebih luas dari samudra yang membentang, lebih rumit dari trigonometri para astronom, lebih misterius dari Segitiga Bermuda, atau mungkin lebih manis dari gumpalan kembang gula yang lumer kala diteguk bersama secangkir cokelat panas.

Hidup ini, tergantung bagaimana kita menggunakan kacamata. Tiap-tiap orang sudah memiliki porsinya masing-masing. Tidak selalu hatimu akan dirundung sendu, atau dengungan tawa yang membahagiakan. Namun kembali, ini tergantung bagaimana kita melihatnya. Sedih saja bila kaukatakan kaulah orang yang paling sial di dunia ini, yang paling menyedihkan di dunia ini, yang paling buruk di dunia ini, hanya karena takdir tidak meluruskan jalanmu untuk mendapatkan cintanya, atau riasanmu yang tidak memukau hatinya, atau karena tidak ada yang ingin berkawan denganmu, atau untaian mimpi harus kautinggalkan pada akhirnya, atau karena sosok yang sangat kausayangi baru saja meninggalkanmu untuk selamanya.

Hidup ini adalah putaran nasib yang beriring bersama waktu. Nelangsa mungkin akan menawan hatimu beberapa waktu lamanya ... namun bukan untuk selamanya. Sebaliknya, tawa riang takkan selalu mewarnai harimu. Walau pada akhirnya, cuma malam yang selalu menjadi saksi di mana kenangan muncul bersama tangis atau sesal, ataupun malam yang muncul bersama rasa syukur karena hari ini berlalu dengan baik, namun pastikan malam ini ada renungan 'tuk kausesapi. Sebab kita dilahirkan, bukan saja hanya untuk satu warna, namun kita ini maestro yang akan melukiskan banyak warna pada canvas kehidupan, lewat palet warna yang menjadi pusat paradigma kita ... tentang bagaimana hidup seharusnya berjalan.

Bukan hanya dalam rona kesedihan atau bahagia saja.

Kota Hujan, 11 Juli 2019

Antologi Cerpen Dan PuisiWhere stories live. Discover now