Cerpen: Tentang Pasang Laut Purnama

364 9 0
                                    

"Kalau pandai meniti buih, selamat badan sampai ke seberang."

Sekiranya begitu perkataan yang selalu diucapkan ibu padaku setiap harinya, bahkan terhitung sejak umurku masih enam tahun. Dan selama itupula aku mencoba untuk mengartikannya. Tak hanya secara harfiah, namun bagaimana caraku untuk memaknainya dalam kehidupanku seperti yang selalu dipinta oleh ibu.

Sedikit melenceng ke luar, aku ingin mengenalkanmu pada ibuku, sosok yang selama ini selalu menjadi potret hidupku. Namanya Bulan, putri kedua dari tiga bersaudara. Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang sederhana. Namanya kemudian melambung saat ia menikah dengan Arya Putra Dinata, sang pujangga tersohor negeri ini yang selalu melahirkan anakan sastra setiap detiknya. Dan lantas akan menyunggingkan senyum pada bibir setiap orang yang membaca karya-karyanya.

Lalu kau pasti akan berpikir bahwa aku dan ibuku juga terciprat ketenaran sang pujangga dan tulisan-tulisannya. Namun faktanya, tak setetes pun darah mampu menembus secarik kertas. Kami hidup dan akan beranak cucu pada hangatnya wilayah timur nusantara yang asri dan jauh dari cerita sang pujangga. Sementara ayahku hidup bergelimang harta pada pusaran kota Jakarta yang ramai dan memuakkan.

Biar, biarkan saja dia menulis ceritanya sendiri, dan biarkan saja kami mengukir kisah kami sendiri pada kerasnya kulit pohon yang tua. Dengan begitu aku bisa melanjutkan ceritaku yang sebenarnya setelah mencuri waktumu sebentar 'tuk menengok sepenggal riwayat hidupku.
Dan sekarang kita kembali pada suatu malam di mana aku bersiap untuk meninggalkan ibuku dan mungkin takkan menemuinya lagi selama beberapa bulan, atau mungkin ... untuk selamanya.

"Besok pagi aku sudah harus balik ke Salatiga, Bu," kataku

"Tak terasa waktu berjalan sangat cepat, ya? Perasaan kemarin masih Januari, sekarang sudah masuk Mei saja. Kemarin kamu baru datang dari sana, sekarang sudah mau balik." Ibu tersenyum sambil melipat bajuku, lalu meletakkannya pada koper.

"Kamu yang semangat skripsiannya. Biar cepat-cepat selesai, lalu dapat beasiswa lagi, bisa lanjut S2 di kota atau negara yang kamu mau," lagi, ibu berucap sambil tersenyum sumringah dan itu sungguh menyayat hatiku.

"Nanti pas libur akhir tahun, aku akan datang ke sini lagi. Biar kita bisa sama-sama ke hutan cari duku, durian, atau rambutan buat dijual." Dan rasa perih itu semakin menyayat saat kuucapkan kalimat itu. Sejujurnya, jika saja waktu masih dapat diundur kembali, kami tidak perlu merantau sejauh ini. Keluarga besar milik ibu semuanya berdomisili di Surabaya. Daripada kami harus hidup susah tanpa sanak saudara di sini, bukankah lebih baik jika kami tinggal di sana?

Namun lagi, bila aku mempermasalahkannya, maka ibuku akan selalu punya jawaban yang sama. "Kalau pandai meniti buih, selamat badan sampai ke seberang."

"Urusanmu itu hanya kuliah dan kuliah. Tapi jangan hanya sibuk kuliah saja. Perhatikan juga kesehatan dan jangan lupa mendekatkan diri pada Tuhan. Masalah biaya hidup, biar itu jadi urusan ibu. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan itu."

Aku tersenyum masam. Enggan untuk bersua, namun rupanya gundaku tak lagi tahan, iapun mendesak keluar. Kalau saja dengannya, aku dan ibuku bisa mendapat kehidupan yang lebih baik daripada ibu harus menjadi buruh di tanah orang.

"Ibu tahu, aku sudah bertemu dengan Ayah. Waktu itu ada acara Festival Literasi di kampus. Lalu ayah diundang sebagai salah satu narasumber." Kedua bola mata ibu membulat seketika. "Dan ... katanya dia ingin bertemu dengan Ibu," tambahku

Aku kira ibu akan meresponnya secara dramatis dengan memekikkan suaranya. Lalu berbalik menatapku dengan garang. Namun nyatanya ibu hanya tersenyum kecut. Antara harus bahagia ataukah meratap.

"Kalau dia ingin bertemu, seharusnya dari dulu dia melakukan itu. Bukannya malah meninggalkan Ibu dan menikah dengan wanita lain."

Antologi Cerpen Dan PuisiWhere stories live. Discover now