Puisi: Tentang Pertiwi, Pun Kami

149 5 0
                                    

Pagi ini datang lebih awal, bersama Ibu pertiwi yang dulu sempat kuterka bagaimana rupanya.
Hari-hari terlukis kejam:
Doa menjelma kutuk, senandung berganti rutuk,
Dan di sudut-sudut jalan, ada kesal yang menumpuk.

Lubuk hati terdalamnya adalah nusantara;
Terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Dahulu orang menyebutnya surga
Dan kami mengenalnya sebagai tanah Ibu.

Namun kini hatinya digegar, ia remuk!
Sebagian merajamnya dengan dendam, bagi mereka ... itu kecewa.
Yang lain merenyeh demi sehela napas baru, di ujung sana ada amarah yang gelap mata
Sedang yang sini merintih sadis memohon keselamatan.

Siang ini separuh hatinya kembali diguncang.
Bukan karena dendam atau ketidakadilan,
Tapi mungkin sekaranglah ia harus bersikap.

Dan degup jantung kami kian memacu.
Tanah mulai menunjukkan aksinya, atas kami yang terlalu sering menari di atas.

Seruan pada Ilahi makin diperdengungkan, sana-sini, asal kota ini tak rata dengan tanah.
Desas-desus resah menghadang jantung tiap-tiap kami, bahkan ada asa yang putus ditengah seruannya.
Namun yang lain t'rus berjaga-jaga,
Sedang yang jauh membuat kanopi, membungkus kami dengan doa.

Sore ini langit mulai redup,
Separuh jantung pertiwi masih meronta memohon keadilan, sedang sebagiannya memohon ketenangan, semoga air mata tak menjelma air bah,
Bolehkah juga hujan turun di tanah sana yang panas?

Dan sebelum malam benar-benar melahap hari, perkenankanlah harap kami singgah pada telinga sang Ibu,
Atau mohon yang datang dari hati terdalam, kepada sang Ilahi,
Yang berkuasa atas langit dan bumi:

Semoga di ujung sana keadilan dapat ditegakkan.
Dan pelangi harapan membusur dibalik derasnya hujan.
Dan di sini, semoga kami bisa tertidur pulas.

Kota Hujan, 26 September 2019

Antologi Cerpen Dan PuisiWhere stories live. Discover now